Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menilai pemerintah harus memiliki strategi untuk mengatur persebaran subsidi LPG 3 kg. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia disebutnya perlu memiliki strategi jangka pendek dan jangka panjang agar bisa menata persebaran secara adil.
Sebenarnya keputusan awal Bahlil untuk melarang pengecer menjual LPG 3 kg yang tercantum melalui surat edaran Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) No. B-570/MG.05/DJM/2025, cukup bisa dipahami.
"Kita melihat apa yang diinginkan oleh menteri, yang pertama adalah subsidi tepat guna atau tepat sasaran. Karena yang menggunakan subsidi LPG ini banyak kalangan atas," ungkap dia saat dihubungi Kontan, Rabu (05/02).
Alasan lain adalah karena banyaknya LPG 3 kg yang dijual di atas Harga Jual Eceran (HET). Contohnya di Jabodetabek dijual dengan harga Rp 16.000, sedangkan yang dijual ke masyarakat jauh daripada harga HET-nya.
"Dan yang ketiga memang terkait importasi. Gas LPG yang ada saat ini hampir seluruhnya impor," ungkapnya.
Baca Juga: Resmi dari Pertamina, Ini Daftar Lengkap Harga LPG 5,5 Kg & 12 Kg di Berbagai Daerah
Namun, Andry menyebut keputusan Bahlil termasuk ekstrem karena langsung menetapkan larangan menjual per 1 Februari 2025.
"Tetapi memang harusnya ada tahap implementasi, kalau tahap peralihan diberikan secara ekstrim, tidak ada transisi, pasti akan memunculkan kelangkaan," jelasnya.
Dalam jangka pendek, INDEF menilai Bahlil dan kementerian terkait harus bisa menepati janjinya dengan mempercepat peralihan para pengecer menjadi sub pangkalan.
"Yang perlu dilakukan saat ini adalah kepastian mulai ditarik ke sub pangkalan, yang perlu diingat berapa lama proses transisi itu sendiri dan sudah terintegrasi dengan sistem," katanya.
Dalam jangka panjang, karena berkaitan dengan keputusan impor LPG, Andry bilang pemerintah bisa fokus pada hilirisasi batu bara yang bisa menghasilkan Dimethyl Ether (DME) yang disebut dapat menjadi substitusi dari LPG.
"Jadi itu yang perlu dilihat juga, apakah ada alternatif dari LPG, sudah banyak sekarang terkait dengan hilirisasi LPG misalnya DME, tapi itu sifatnya long term," katanya.
Baca Juga: Beli LPG 3 Kg di Sub-Pangkalan, Masyarakat Wajib Pakai KTP, Ini Alasannya
Asal tahu saja, dalam catatan Kontan, impor minyak dan gas (migas) Indonesia terus menanjak. Nilainya bahkan mencapi RP 450 triliun per tahun, terutama untuk kebutuhan liquefied petroleum gas (LPG).
Bahlil bahkan sempat mengatakan devisa negara setiap tahun keluar kurang lebih sekitar Rp 450 triliun untuk membeli migas, khususnya LPG.
Menurut Bahlil, impor migas yang membengkak ini disebabkan konsumsi LPG Indonesia kurang lebih sekitar 7 juta ton dan industri dalam negeri hanya memiliki kapasitas produksi 1,9 juta ton saja sehingga sisanya impor untuk memenuhi kebutuhan LPG masyarakat.
Selanjutnya: Harga Minyak Mentah Melemah, Tertekan Kenaikan Persediaan Minyak Mentah AS
Menarik Dibaca: 7 Jenis Teh yang Bagus untuk Penderita Diabetes Konsumsi, Ada Teh Hijau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News