Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Namun, ada perubahan dari sisi perizinan di sektor hilir, yakni dengan penyederhanaan jenis izin. "Dulu ada izin usaha pengolahan, izin usaha pengangkutan, izin usaha niaga, izin usaha penyimpanan. Izin-izin ini dipangkas jadi izin hilir," terang Redi.
Diwacanakan untuk Dilebur
Sebelumnya, kinerja dan eksistensi BPH Migas sempat dipertanyakan oleh sejumlah anggota Komisi VII DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat yang digelar Rabu (12/2). Pada kesempatan itu, Anggota Komisi VII Falah Amru menyoroti independensi BPH Migas. Sebagai lembaga yang ditunjuk oleh DPR RI, Falah menegaskan bahwa BPH Migas harus bersifat mandiri, tidak boleh bergantung kepada Kementerian ESDM.
Hal tersebut terlihat dari pelaksanaan tugas dan fungsi BPH Migas yang terkendala lantaran harus menunggu regulasi yang diterbitkan Kementerian ESDM. "Komite BPH Migas kita seleksi di sini (Komisi VII DPR RI), seharusnya bukan menjadi corong pemerintah. Jadi harusnya independen, tidak seolah berada di bawah ESDM," kata Falah.
Baca Juga: Lima poin ini dinilai perlu disoroti dalam pembuatan regulasi lingkungan hidup
Lebih jauh, Anggota Komisi VII Hari Purnomo meminta supaya tugas dan fungsi BPH Migas ditinjau ulang. Bahkan, Hari mempertanyakan eksistensi dari BPH Migas yang menurutnya duplikasi dari Direktorat Hilir yang berada di bawah Ditjen Migas Kementerian ESDM.
Untuk itu, Hari mengusulkan supaya BPH Migas bisa diperkuat. Jika tidak, Hari menyarankan agar BPH Migas dilebur ke dalam Ditjen Migas Kementerian ESDM. Opsi lainnya, kata Hari, BPH Migas juga bisa dilebur ke BUMN untuk melengkapi fungsi dari PT Pertamina (Persero).
"Kita perkuat (BPH Migas) kalau memang dibutuhkan. Kalau tidak, ya dilebur saja dengan Ditjen Migas. Sebab itu, eksistensi BPH Migas ini harus dikaji ulang. Ke depan juga bisa saja BPH Migas jadi BUMN yang mengurusi subsidi, kemudian Pertamina mengurusi komersial," ungkap Hari.