Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerapan pajak karbon di tahun 2022 mendatang dinilai akan memberatkan kelangsungan usaha industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia.
Sebagai informasi, pemerintah akan memberlakukan pajak karbon pada 1 April 2022 dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
Pungutan pajak ini dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uang (PLTU) batubara dengan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Ian Syarif, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyampaikan, industri tekstil jelas terdampak oleh aturan pajak karbon.
Baca Juga: AS terapkan antidumping benang polyester, jadi hambatan baru bagi ekspor industri TPT
Apalagi, industri tekstil merupakan pemakai batubara yang tanpa pajak karbon pun sudah tertekan oleh tren kenaikan harga komoditas tersebut. Efeknya, harga jual produk hilir seperti garmen ikut mengalami kenaikan.
API membuat perkiraan efek pengenaan pajak karbon terhadap biaya produksi industri TPT dari hulu hingga hilir.
Apabila pajak karbon jadi direalisasikan, maka biaya produksi industri serat dapat naik 2%, kemudian industri pemintalan naik 1%, industri rajut dan tenun naik 1%, industri pencelupan dan finishing naik 5%, dan industri garmen naik 0,25%.
Secara akumulasi, kenaikan biaya produksi pada industri TPT akibat pajak karbon mencapai 9,25%. “Asosiasi mengharapkan diberikannya akses pasar supaya industri bisa menyerap kenaikan biaya ini,” imbuh Ian, Rabu (10/11).
Di sisi lain, dengan adanya rencana penerapan pajak karbon, industri TPT lokal mau tidak mau harus melakukan modernisasi dan beralih ke teknologi yang lebih ramah lingkungan. Hal ini supaya dapat bertahan di era kebijakan pajak karbon sekaligus mitigasi atas perubahan iklim.
Selanjutnya: Komisi VII DPR desak Kementerian ESDM percepat penyelesaian pembangunan smelter nikel
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News