Reporter: Francisca Bertha Vistika | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Bisnis sepatu dalam negeri tahun ini diprediksi stagnan. Kondisi ini dipicu oleh nilai tukar rupiah yang melemah serta daya beli masyarakat yang ikut turun. Meski demikian, ada beberapa jenis sepatu yang memang masih laris manis.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Wijanarko bilang, ada tiga tantangan utama tahun ini yang menyebabkan penjualan sepatu kurang memuaskan. Pertama, dari naik turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika serikat. Eddy mengungkapkan, bahan baku sepatu banyak impor. Ini menggunakan mata uang dolar. "Padahal kondisi dollar makin hari makin melemah," ujar dia.
Kedua, adalah kondisi Eropa, Rusia dan beberapa negara lain yang kurang bagus. Kondisi itu memiliki efek domino untuk industri sepatu. "Biasanya ada pesanan dari luar dalam kuantitas yang besar, tapi karena beberapa negara sedang tidak baik, pesanan menjadi sedikit," ungkap Eddy.
Ketiga adalah situasi di Indonesia belum pulih. Eddy bilang daya beli masyarakat Indonesia sedang jelek sekali. "Biasanya kalau banyak stok sepatu akan ada diskon. Tapi sekarang ini tidak ada pergerakan meski ada diskon," kata Eddy.
Sementara itu, menurut Arif Wirawan, Direktur PT Panatrade Caraka, pemegang merek sepatu Specs, mengatakan, meskipun bahan baku Specs bisa 100% lokal, tetapi pemasok bahan baku ke Panatrade Caraka masih melakukan impor. Alhasil, ada efek domino yang harus dihadapi ketika rupiah anjlok.
Dia mengungkapkan, tahun ini pihaknya masih optimistis tumbuh meski daya beli masyarakat sedang turun. "Target kami tahun ini bisa tumbuh 30-40%. Kalau soal daya beli sedang turun, karena Specs untuk kelas menengah, tidak terlalu masalah untuk penjualannya," kata Arif.
Sekadar informasi, penjualan sepatu Specs masih didominasi oleh penjualan sepatu football yakni sekitar 40%. Baru diikuti dengan sepatu futsal dan running.
Susah relokasi pabrik
Rencana relokasi pabrik sepatu dari DKI Jakarta ke beberapa daerah hingga saat ini belum terealisasi. Relokasi pabrik ini dilakukan karena Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta terlalu tinggi sehingga pengusaha tak sanggup membayar pekerja.
Eddy menyatakan, ada 100 perusahaan sepatu yang akan merelokasi pabriknya ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun ada beberapa hal yang menyulitkan pengusaha sepatu untuk merelokasi pabriknya. "Proses pemindahan abrik dimulai dengan membeli tanah, lalu meminta izin, baru membangun, dibutuhkan waktu dua tahun" kata.
Eddy mengatakan dari pembelian tanah sendiri para investor sudah mengalami kesulitan karena tanah yang dibeli tidak berada di kawasan industri. Biasanya relokasi berada di tanah yang masih dikelilingi oleh perkampungan. Belum lagi, untuk mendapatkan persetujuan di perkampungan biaya mahal. "Dulu hanya 10 juta, sekarang Rp 300 juta," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News