Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasokan bahan baku obat (BBO) dan alat kesehatan Indonesia masih tergantung dari luar negeri. Sebagai anggota Holding BUMN Farmasi, PT Indofarma Tbk (INAF) mengajak seluruh pelaku usaha farmasi untuk menghadapi tantangan ini.
Arief Pramuhanto, Direktur Utama Indofarma memaparkan secara umum total market value farmasi dan kesehatan Indonesia mengalami pertumbuhan. Sebelumnya di 2016 senilai Rp 65,9 triliun menjadi Rp 84,59 triliun di 2020.
"Tetapi kalau melihat khusus di 2020, dari sisi farmaai mengalami minus growth. Faktor utamanya, produk-produk yang tidak terkait dengan Covid-19 mengalami penurunan, tetapi produk yang terkait Covid-19 naiknya luar biasa. Kami alami sendiri di Indofarma," jelasnya dalam acara Investor Daily Summit, Kamis (15/7).
Arief melihat, penurunan Bed Occupancy Rate (BOR) di Rumah Sakit khusus pasien reguler turun atau hanya 65% hingga 70% saja membuat demand obat untuk pasien reguler ikut melandai.
Baca Juga: Kasus corona melonjak, Indofarma akan genjot produksi Oseltamivir dan Ivermectin
Di tengah permintaan produk farmasi dan alat kesehatan yang tinggi saat ini, pasokan bahan baku obat (BBO) dan alat kesehatan masih didominasi dari luar negeri.
Arief memaparkan, dari 1.809 macam obat yang ditransaksikan dalam e-katalog, hanya 56 obat yang belum diproduksi di dalam negeri. Artinya, sudah 97% obat telah diproduksi di domestik. Meskipun, bahan baku obat (BBO) masih mayoritas diimpor dari India dan China.
Dari 10 besar molekul obat yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, baru dua yang bahan bakunya diproduksi dalam negeri, yakni Clopidogrel dan Paracetamol.
Memang jika dilihat pada data yang disampaikan Indofarma, Clopidogrel merupakan obat yang paling banyak dikonsumsi pada 2019 atau nilai konsumsinya mencapai Rp 4,52 triliun. Sedangkan Paracetamol berada di urutan kedua atau senilai Rp 4,48 triliun.
Baca Juga: Kasus Covid-19 naik, Indofarma bakal tingkatkan produksi Oseltamivir dan Ivermectin