kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pebisnis online tidak setuju penerapan pajak


Kamis, 14 April 2016 / 11:03 WIB
Pebisnis online tidak setuju penerapan pajak


Reporter: Pamela Sarnia | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) bisnis online (e-commerce) ditentang kalangan pebisnis online. Terutama pebisnis online jenis marketplace dan iklan baris atau classified advertising.

Daniel Tumiwa, Ketua Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) menyatakan, penerapan PPN bisnis online tidak adil. Pemerintah tidak melihat bahwa bisnis online ini merupakan bisnis gratis.

Bila semua hal yang bersifat gratis terkena pajak, berarti para pengguna internet yang juga mengakses dengan gratis bisa terkena pajak juga. Artinya, pajak atas pebisnis online disamakan dengan yang lain. "Jadi setiap konten yang dipublikasikan adalah objek pajak cuma-cuma," ungkapnya di Jakarta, Rabu (13/4).

Ia mengambil contoh media iklan. Sekitar 10% dari total biaya operasional perusahaan iklan dialokasikan untuk membayar pajak. Padahal, klaim Daniel, bisnis online di Indonesia, terutama yang digeluti pebisnis lokal masih bersifat jabang bayi. Bila belum berkembang sudah dikenakan pajak oleh pemerintah, ia khawatir laju bisnis pebisnis lokal bakal tersapu oleh pemain asing yang sudah berkembang biak.

Hendrik Tio, Chief Executive Officer Bhinneka.com, setuju dengan pernyataan Daniel. "Kalau ini terjadi, pemain lokal bisa mati suri nih," katanya kepada KONTAN.

Hendrik memandang pengenaan PPN cuma-cuma ini tidak tepat. "Kalau tidak salah, dulu pajak cuma-cuma dikenakan untuk pemenang undian berhadiah. Konteks logikanya jadi berbeda," kata dia.

Menurut Daniel, apabila pajak ini betul betul terealisasi, peta jalan (roadmap) e-commerce yang sudah dibuat oleh pemerintah menjadi tidak berarti.  
Rencana tersebut menjadi tidak bernilai lagi lantaran adanya PPN cuma cuma tersebut, "Kalau pajak diberlakukan, roadmap akan bubar," kata dia.

Supaya adil, kata Daniel, pemerintah sebaiknya tidak terlebih dahulu menerapkan pajak ke para pebisnis perintis atau start up di bisnis online lantaran masih butuh dana dan dukungan. Ia setuju bila usaha yang sudah berkembang bisa dikenakan pajak.

Menurut Hapsari Wikaningtyas, Kepala Seksi Usaha Dagang  Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kementrian Perdagangan (Kemdag), ada kewajiban pendaftaran bagi pelaku usaha di bisnis online. "Pajak transaksi e-commerce akan sama dengan transaksi offline," kata Hapsari kepada KONTAN.

Dia menjelaskan, ada tiga tipe pembagian pebisnis online. Pertama,  sebagai penyelenggara jasa yang menyediakan tempat untuk merchant atau penyewa.

Kedua, merchant yang berjualan di penyelenggara jasa. Ketiga, penyelenggara jasa lain di bisnis online seperti pengiriman barang. Rancangan aturan belanja online sudah ada di Biro Hukum Kementerian Hukum dan HAM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×