Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan berencana merevisi lebih lanjut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PSME). Hal ini dapat melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari gempuran produk asing.
Revisi ini juga diharapkan dapat mendukung persaingan yang adil dan sejajar dalam ekosistem digital di Tanah Air melalui aturan terkait praktik crossborder yang saat ini dinilai belum diregulasi. Keadaan ini menekan daya saing produk dalam negeri.
Dalam revisi Permendag itu, ada beberapa hal yang akan diatur, di antaranya mengenai predatory pricing yang diduga banyak dilakukan oleh platform e-commerce asal luar negeri yang juga melakukan praktik crossborder.
Plt. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Kasan menyatakan, revisi Permendag 50/2020 saat ini masih dalam proses finalisasi dan telah diajukan untuk ke tahap berikutnya setelah public hearing dua minggu lalu.
Baca Juga: Di Tengah Kekhawatiran Resesi, Bisnis UMKM Tetap Melaju dan Tangguh
“Dalam pembahasan Permendag tersebut, kami terus mencari formula terbaik agar UMKM dalam negeri bisa mendapatkan yang terbaik. Nanti kami lihat dalam proses pembahasannya,” katanya.
Ia menambahkan, penyempurnaan kebijakan tersebut diharapkan dapat menciptakan keadilan perlakuan antara pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri serta pelaku usaha formal dengan informal. Dalam revisi Permendag 50/2020, rencananya pembatasan harga barang minimum produk crossborder juga akan diterapkan.
Aturan ini, kata dia, akan diberlakukan terhadap produk-produk crossborder untuk memantau arus barang dan mencegah praktik dumping eksportir atau penjual luar negeri yang menjual produk di pasar internasional melalui platform e-commerce.
Ahli hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, penetapan harga minimal barang impor senilai US$ 100 oleh pemerintah dalam revisi Permendag 50/2020 dinilai tidak melanggar peraturan WTO. Hal ini diperbolehkan untuk mencegah peningkatan barang impor yang dapat merugikan pedagang lokal dan tercantum dalam perjanjian WTO/GATT on Quantitative Restriction.
“Sebenarnya, ini belum mendapat pengaturan karena saat ketentuan WTO belum diatur peer to peer transactions. Pemerintah dalam hal ini Kemendag bisa membuat pengaturan. Hanya saja mungkin akan ada resistensi dari konsumen Indonesia mengingat ada beban tambahan atas harga barang yang mereka beli,” kata Hikmahanto.
Sebelumnya Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengatakan, revisi Permendag merupakan hal yang positif karena dapat menunjukkan keberpihakan pemerintah pada UMKM di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News