Reporter: Dimas Andi, Leni Wandira, Sabrina Rhamadanty | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah Presiden terpilih Prabowo Subiyanto untuk menambah jumlah kementerian dan lembaga mendapat sorotan dari kalangan pebisnis. Ada kekhawatiran postur kabinet pemerintahan yang gemuk akan menimbulkan persoalan bagi dunia usaha pada masa mendatang.
Sebagaimana diketahui, pemerintahan Prabowo-Gibran bakal memiliki 46 kementerian seiring adanya penambahan dan perubahan nomenklatur beberapa kementerian terdahulu.
Sebagai contoh, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan dipecah menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat. Pemecahan juga terjadi pada KLHK, Kemenparekraf, Kemenkop UKM, dan lain-lain. Prabowo juga membentuk kementerian baru yakni Kementerian Koordinator Bidang Pangan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengaku, banyaknya kementerian dan pejabat tinggi negara bisa memicu birokrasi yang tidak efisien serta rentan terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi, selama ini masalah birokrasi di Indonesia cukup kompleks, mulai dari tumpang tindih kebijakan hingga inkonsistensi antar kementerian dan lembaga.
Baca Juga: Kementerian Dipecah, Pengusaha Konveksi Ungkap Potensi Komplikasi di Industri Tekstil
"Pembenahan reformasi birokrasi sangat penting agar proses perizinan usaha menjadi lebih transparan, sederhana, dan efisien dalam hal biaya dan kepatuhan," ujar dia, Kamis (17/10).
Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo Danang Girindrawardana menambahkan, kabinet yang besar cenderung memunculkan tumpang tindih kebijakan dan produk hukum yang tidak jelas. Kabinet gemuk juga berpotensi membuat belanja administrasi membengkak.
Walau begitu, Apindo tidak sepenuhnya pesimistis. Selama Prabowo bisa menjelaskan key performance index (KPI), kewenangan, dan fungsi masing-masing kementerian dengan baik, maka risiko timbulnya masalah terkait birokrasi di pemerintahan seharusnya bisa diminimalisasi.
Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) juga khawatir penambahan jumlah kementerian akan memberikan tantangan baru dalam proses perizinan, termasuk di industri petrokimia.
Saat ini saja, sistem Online Single Submission (OSS) yang jadi kendaraan utama dalam proses perizinan belum terkoneksi optimal dengan kementerian/lembaga terkait investasi, industri, dan perdagangan. "BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) belum bisa menyelesaikan masalah ini," kata Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono, Kamis (17/10).
Inaplas pun berharap penambahan kementerian/lembaga tidak berdampak negatif terhadap iklim investasi di dalam negeri.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai, pemisahan kementerian yang sebelumnya terintegrasi akan menciptakan kevakuman. Sebab, kementerian yang baru perlu waktu untuk beradaptasi dan mengatur koordinasi dengan institusi lainnya. Proses penyesuaian ini akan mempengaruhi efisiensi bisnis.
"Proses perizinan yang sudah berjalan juga dapat mengalami penundaan, karena struktur baru perlu waktu untuk konsolidasi," imbuh Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani, Kamis (17/10).
Baca Juga: Kementerian Era Prabowo Bertambah, Aspemigas Harap Perizinan Tetap Satu Pintu
Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur juga menganggap, banyaknya kementerian dan lembaga di era Prabowo-Gibran berisiko memperpanjang alur perizinan bagi para pengusaha. Terlebih lagi, saat ini pemerintah belum optimal mengangkat kinerja industri mebel.
"Jika terjadi tumpang tindih tugas atau kebijakan yang inkonsisten antar kementerian, hal ini dapat menghambat pertumbuhan industri mebel," terang dia, Kamis (17/10).
Sementara menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, lemahnya koordinasi antar kementerian/lembaga sudah menjadi masalah klasik berbagai era pemerintahan, sehingga pelaku usaha dirugikan. Alhasil, masalah ini sebenarnya bukan berkaitan dengan banyak atau sedikitnya jumlah kementerian/lembaga.
"Banyak atau sedikitnya kementerian/lembaga tidak jadi masalah selama pucuk pimpinannya punya ketegasan dan tidak konflik kepentingan dalam membuat kebijakan," pungkas dia pada Kamis (17/10).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News