Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pelaku usaha penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) tengah mengalami masalah pengurangan kuota penyaluran gas hingga kebijakan kenaikan harga gas di luar kuota. Kinerja produksi dan penjualan industri penerima HGBT pun terancam turut akibat masalah tersebut.
Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan, pengurangan kuota pemakaian gas dalam kebijakan HGBT kini semakin parah.
Pihaknya mendapat info bahwa pengurangan kuota tersebut disebabkan oleh natural decline dari sumur-sumur produktif yang sudah menua.
Namun, hal itu tidak bisa dijadikan alasan mengingat kuota pemakaian gas bumi berdasarkan HGBT telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 91/2023.
“Natural decline pasti sudah dihitung sewaktu penetapan volume HGBT per sumur untuk disalurkan kepada setiap perusahaan penerima HGBT,” ungkap Yustinus, Senin (6/5).
Baca Juga: APGI: Pembatasan Pemakaian Gas Ancam Kelangsungan Industri Gelas Kaca
Dengan kondisi seperti ini, seluruh industri penerima HGBT jelas terdampak. Daya saing industri pun menurun karena para pelaku usaha harus mengkompensasi kekurangan gas dengan pembelian di harga yang lebih mahal. Bukan tidak mungkin, utilisasi pabrik dan penurunan penjualan akan terjadi jika masalah tersebut berlarut.
Para pelaku usaha pun kesulitan mencari solusi energi alternatif mengingat hampir seluruh industri penerima HGBT mengandalkan gas bumi. Diperlukan waktu dan investasi di luar dugaan dengan nilai besar untuk menambah mesin dan peralatan demi beralih ke energi alternatif.
“Di sisi lain, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sangat mendadak dan secara sepihak menginformasikan masalah yang terjadi,” tutur dia.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Produsen Gelas Kaca Indonesia (APGI) Henry T. Susanto menyampaikan, sudah beberapa tahun terakhir PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) membatasi pasokan gas kepada para anggota APGI dengan mengenakan alokasi gas industri tertentu (AGIT) baik harian maupun bulanan.
Jika pemakaian gas melewati ambang batas kuota, maka pabrik harus membayar gas dengan harga US$ 15 per MMBTU. Angka ini jauh di atas harga yang diberikan pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM No. 91/2023 yakni US$ 6,5 per MMBTU.
Masalah pembatasan penggunaan gas ini awalnya terjadi di Sumatera bagian utara. APGI menyebut, pada 2023 lalu anggotanya yang berada di Sumatera Utara diberikan kuota pemakaian gas harian rata-rata sebesar 25,1%, sedangkan Jawa Timur sebesar 67,64% dan Jawa Barat sebesar 67%.
Baca Juga: Kuota Penyaluran Gas PGN Dinilai Bisa Ciptakan Multiplier Effect ke Industri
Lantaran pembatasan ini, maka anggota APGI terpaksa mengurangi produksi atau membayar biaya gas dengan harga rata-rata lebih tinggi. “Kalau mengikuti kuota gas, maka rata-rata pabrik membayar biaya gas hampir US$ 9 per MMBTU,” ujar dia, Minggu (5/5) malam.
Para anggota APGI pun terpaksa memangkas produksi untuk menghindari risiko harga gas mahal. Jika ini terjadi secara berkepanjangan, pabrik gelas kaca bisa saja terpaksa mengurangi tenaga kerja dan melakukan pemutusan hubungan karyawan (PHK).
Dalam situasi pelik seperti saat ini, para pelaku usaha gelas kaca juga terpaksa menunda rencana perbaikan fasilitas atau pengembangan produksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News