kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.662.000   2.000   0,12%
  • USD/IDR 16.280   55,00   0,34%
  • IDX 6.743   -132,96   -1,93%
  • KOMPAS100 996   -6,22   -0,62%
  • LQ45 785   7,24   0,93%
  • ISSI 204   -4,64   -2,22%
  • IDX30 407   4,40   1,09%
  • IDXHIDIV20 490   7,18   1,49%
  • IDX80 114   0,52   0,46%
  • IDXV30 118   0,81   0,69%
  • IDXQ30 135   1,91   1,44%

Pelaku Usaha Tekstil Sesalkan Maraknya Produk Ilegal Tanpa Label dan SNI


Sabtu, 08 Februari 2025 / 21:20 WIB
Pelaku Usaha Tekstil Sesalkan Maraknya Produk Ilegal Tanpa Label dan SNI
ILUSTRASI. Pedagang melayani pembeli di sentra tekstil Cipadu, Tangerang, Banten, Kamis (7/11/2024). Industri tekstil dan pakaian jadi mencatatkan pertumbuhan positif hingga mencapai 7,43% secara tahunan pada triwulan III/2024. Meski diterpa berbagai isu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pabrik tutup, penerapan restriksi dagang menjadi angin segar bagi industri. (KONTAN/Carolus Agus Waluyo)


Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) mendesak pemerintah lebih serius dalam menegakkan kewajiban penggunaan label berbahasa Indonesia serta penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk pakaian jadi.

Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, menegaskan bahwa aturan ini penting bagi konsumen agar dapat memahami spesifikasi dan kualitas produk yang dibeli serta melakukan pemeliharaan dengan tepat.

Ia merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 25 Tahun 2021 yang mewajibkan seluruh produk pakaian dan kain yang beredar di pasar mencantumkan label berbahasa Indonesia.

Baca Juga: Industri Semen Bidik Pertumbuhan Melalui Ekspor dan Proyek Dalam Negeri

“Kewajiban ini sebenarnya telah diberlakukan sejak 2015, tetapi dalam 10 tahun terakhir hampir tidak ada upaya serius untuk menegakkannya,” ujar Ardiman dalam siaran pers yang diterima pada Sabtu (7/2).

Berdasarkan pemantauan YKTI, hanya sekitar 30% produk yang mematuhi aturan tersebut di pasar. Pelanggaran paling banyak ditemukan di platform perdagangan daring, di mana sekitar 90% produk tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia.

Sebagian besar produk menggunakan bahasa Inggris, sementara lainnya menampilkan karakter dari bahasa Tiongkok, Thailand, Korea, dan Jepang.

“Akibatnya, konsumen tidak mengetahui informasi mengenai barang yang mereka beli,” tegas Ardiman.

YKTI juga menyoroti lemahnya penegakan SNI wajib untuk pakaian bayi yang berkaitan langsung dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak.

Baca Juga: Kapasitas Semen Berlebih, Pemerintah Perkuat Moratorium Pabrik Baru

“Penegakan hukum terkait SNI pakaian bayi sangat lemah. Bahkan, produk yang terang-terangan dijual secara daring tanpa sertifikasi SNI tidak pernah ditindak,” lanjutnya.

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, turut mengamini pernyataan tersebut. Ia menilai lemahnya pengawasan serta buruknya kinerja bea cukai menjadi penyebab utama maraknya impor ilegal yang membanjiri pasar domestik. Menurutnya, penegakan hukum di sektor ini sering kali tidak merata.

“Dalam hal regulasi label, SNI, hingga K3L, yang lebih ditekan justru produk dalam negeri karena lokasinya lebih mudah dijangkau aparat. Sementara itu, distributor dan pedagang barang impor tidak pernah tersentuh hukum,” kata Nandi.

Ia menambahkan bahwa ketimpangan dalam penegakan hukum ini menjadikan Indonesia sebagai pasar yang menguntungkan bagi barang impor ilegal.

“Produsen dalam negeri harus membayar pajak, mulai dari PPN bahan baku hingga PPN penjualan. Sementara itu, barang impor ilegal dijual tanpa PPN, sehingga jelas bahwa mereka justru diuntungkan oleh aparat dan birokrasi kita sendiri,” ungkapnya.

Baca Juga: Dukung Hilirisasi, Holding Danareksa Pacu Transformasi Kawasan Industri BUMN

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menilai ketidakseriusan pemerintah dalam menangani impor dan peredaran barang ilegal telah menyebabkan keterpurukan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Kondisi ini bahkan mengakibatkan banyak pabrik tutup dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaan.

APSyFI mendesak pemerintah, khususnya kementerian dan lembaga di bawah koordinasi bidang perekonomian, untuk mengambil langkah konkret dalam menangani permasalahan ini.

Salah satu usulan APSyFI adalah penerapan pengawasan border terhadap barang impor terkait aturan Label, SNI, dan K3L. Sebab, jika hanya mengandalkan sistem post border, Kementerian Perdagangan akan kesulitan mengawasi produk yang sudah beredar di pasar.

Selanjutnya: Menteri BUMN Erick Thohir Tunjuk Jenderal TNI Aktif Jadi Dirut Bulog

Menarik Dibaca: 5 Ciri-Ciri Rambut Sehat, Salah Satunya Mudah Disisir

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Finance for Non Finance Entering the Realm of Private Equity

[X]
×