Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Menjelang awal 2009, pengusaha makin gelisah. Alih-alih mendapat kontrak baru, satu per satu pembeli dari luar negeri malah menunda pembelian atau membatalkan kontrak pada 2009.
Tentu ini kabar buruk. Sebab, pembatalan kontrak ekspor makin meluas. Setelah minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO), penundaan dan pembatalan kontrak merembet ke sektor lain, seperti karet, tekstil dan produk tekstil (TPT), perikanan, mebel, dan alas kaki.
Tak ingin makin terpuruk, pengusaha mendesak pemerintah segera mewujudkan kebijakannya. Bahkan, sebanyak 22 asosiasi yang menggelar pertemuan pada Selasa (11/11), sepakat bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyampaikan kondisi mereka saat ini. "Kami akan membuat surat dan minta waktu bertemu presiden karena kami ingin pemerintah segera menyelesaikan masalah keuangan," kata Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy, Rabu (12/11).
Khusus di tekstil dan produk tekstil, hingga akhir 2008, pengusaha hanya berupaya memenuhi pesanan. Itu pun beberapa di antaranya mengalami penyesuaian harga. Namun, untuk tahun depan, kondisi bakal lebih parah. Buktinya, beberapa negara pembeli belum membuat kontrak baru dengan alasan melihat situasi terlebih dulu.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Toto Dirgantoro menambahkan, penyebab batalnya kontrak tahun depan karena para importir merasa rugi akibat harga kontrak awal yang lebih tinggi dari kondisi saat ini.
Menilik kondisi yang kian gawat, kata Ernovian, pengusaha menagih janji pemerintah. Salah satunya, menjaga kelangsungan ekspor dengan memberi garansi terhadap risiko pembayaran dari pembeli luar negeri dengan menyediakan fasilitas rediskonto wesel ekspor (WE). Seharusnya, fasilitas itu berlaku mulai 1 November 2008. Namun, janji itu tak kunjung terbit. Padahal, pengusaha sangat menunggu kebijakan itu.
Harus negosiasi ulang
Wakil Ketua Bidang Perdagangan dan Distribusi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) I Ketut Suardhana Linggih mengakui, memang banyak importir kopi Eropa meminta penurunan harga ke pengusaha dalam negeri. Namun, ia lebih memilih jalan tengah. Ia minta eksportir jangan terlalu terpaku pada kontrak. Caranya, agar kontrak tak batal mereka memberi diskon ke pembeli. Meski laba kecil, produk tetap terjual. "Mungkin pula dengan cara negosiasi ulang kontrak," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News