Reporter: Abdul Wahid Fauzie,Gentur Putro Jati |
JAKARTA. Produsen crude palm oil (CPO) menyambut baik rencana pemerintah menerapkan pungutan ekspor (PE) sebesar 0% mulai November ini. Pengusaha berharap penurunan tarif berdampak pada meningkatnya permintaan CPO di luar negeri.
Diakui Imanuel Sutarto, Presiden Direktur salah satu produsen CPO PT Eterindo Wahana Tama, bahwa torehan ekspor barang dagangannya terus menurun dalam dua tahun terakhir. Dalam catatan Sutarto, pada 2006 jumlah ekspor Eterindo ke pembelinya di Eropa, Amerika Serikat dan Australia mencapai 40.000 ton.
"Tren ekspor menurun dalam dua tahun berikutnya, di 2007 cuma 5.000 ton sementara untuk 2008 diperkirakan cuma 2.000 ton," kata Sutarto.
Namun, diakuinya kondisi krisis keuangan yang terjadi sejak pertengahan Oktober telah mengakibatkan permintaan CPO dari luar negeri menurun. Dan beruntungnya pengusaha CPO ditengah menurunnya kinerja ekspor minyak kelapa sawit, pemerintah memberi peluang buat mereka untuk memasarkan dagangannya ke dalam negeri sebagai amanat mandatory BBN sebesar 2,5% campuran BBM untuk industri dan 5% campuran BBM untuk transportasi mulai 1 Januari 2009.
"Kalau pasar dalam negeri di buka, sementara di luar negeri permintaan sedang rendah saya setuju kalau produsen harus prioritaskan memenuhi kebutuhan dalam negeri," kata Sutarto yang juga menjabat Ketua Bidang Produksi dan Pemasaran Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi).
Pasar lain yang juga tengah memble adalah China, India, Eropa, dan Pakistan. Sebelumnya, rata-rata ekspor keempat negara tersebut setiap bulannya mencapai satu juta ton, namun sejak Agustus hanya mencapai 500.000 ton saja.
"Penurunan CPO belum akan mampu menggenjot ekspor," kata Derom Bangun, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kemarin.
Derom beralasan, negara tujuan ekspor masih melemah. "Kalau pun naik masih akan berada di bawah satu juta ton," paparnya. Namun, ia memperkirakan ekspor CPO kepada empat negara tersebut akan sangat tergantung dari seberapa besar pengaruh krisis terhadap negara mereka.
Pelemahan minyak mentah juga membuat banyak kontrak pembelian dibatalkan. Hal inilah yang membuat Gapki meminta kepada pemerintah agar mampu menyerap produksi CPO lewat pengajuan penetapan mandatory bahan bakar nabati (BBN) dari 1 Januari 2009.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News