Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia mempertimbangkan menggandeng Amerika Serikat (AS) dalam proyek pembangunan kilang minyak. Namun, rencana ini bakal menghadapi kendala terkait apakah ada minat dari investor dari AS untuk ikut andil dalam proyek kilang minyak ini.
Langkah ini merespons situasi ekonomi global, khususnya kebijakan ekonomi-politik Presiden AS yang mengenakan tarif resiprokal kepada Indonesia sebesar 32%. Pemerintah akan memilih jalur negosiasi dengan meningkatkan kinerja impor dari negeri Paman Sam tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, proyek strategis nasional (PSN) seperti pembangunan kilang minyak bisa melibatkan penggunaan komponen dari AS.
Dengan demikian, volume impor dari AS ke Indonesia akan meningkat. Harapannya, hal ini dapat mendorong Presiden AS Donald Trump untuk memberikan relaksasi atau menurunkan tarif resiprokal terhadap produk Indonesia.
"Indonesia dalam proyek strategis nasional akan membangun beberapa proyek, termasuk refinery dan mungkin salah satu komponennya kita beli dari Amerika," ujar Airlangga di Jakarta, Senin (7/4).
Dihubungi secara terpisah, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso mengaku masih menunggu arahan dari pemerintah terkait kebijakan meningkatkan impor migas dari AS.
"Kami tunggu arahan pemerintah," kata Fadjar kepada Kontan, Selasa (8/4).
Baca Juga: Kilang Pertamina Internasional (KPI) akan Uji Coba Produksi Bioavtur Minyak Jelantah
Selalu Menolak
Di sisi lain, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai realisasi investasi AS di sektor ini masih penuh tantangan.
Moshe menyambut baik rencana pemerintah untuk menggandeng investor asing dalam pembangunan kilang, termasuk dari AS. Namun, ia mempertanyakan keseriusan dan minat investor Amerika, mengingat pengalaman sebelumnya.
“Setiap kali Pertamina mengundang investor dari Amerika, seperti BlackRock, untuk proyek kilang, mereka selalu menolak. Artinya ada yang perlu dievaluasi dari daya tarik proyek kita,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (8/4).
Menurut Moshe, proyek kilang minyak memiliki kompleksitas tinggi dan tingkat pengembalian ekonomi yang relatif rendah dibandingkan proyek energi lainnya seperti pembangkit listrik atau data center.
“Kalau proyek sesederhana data center saja Amerika lebih memilih Vietnam atau Thailand, apalagi kilang minyak yang lebih kompleks dan berisiko tinggi,” kata dia.
Moshe menyarankan pemerintah untuk tidak asal menawarkan proyek kilang, melainkan menyiapkan insentif dan struktur investasi yang benar-benar menarik. Ia menilai hanya dengan skema yang tepat, investor Amerika bisa tertarik membawa teknologi dan modalnya ke Indonesia.
“Kita ini bersaing dengan negara lain yang juga menawarkan opsi investasi. Pemerintah harus benar-benar siapkan penawaran yang matang, jangan sampai proyeknya jadi zonk,” tutupnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar memandang rencana pemerintah melibatkan AS dalam proyek kilang di Indonesia merupakan langkah yang bagus.
"Pemerintah harus serius dan intensif melobi pihak AS agar benar bisa kerja sama membangun kilang minyak di Indonesia," ujarnya kepada Kontan, Selasa (8/4).
Bisman menjelaskan, keuntungan melibatkan AS dalam proyek kilang yakni akan ada investasi besar masuk di sektor migas, tarif impor komoditas dari Indonesia bisa lebih rendah sehingga secara ekonomi masih feasibel.
Selain itu juga memperkuat hubungan diplomatik dan kerjasama ekonomi Indonesia dan AS.
"Serta yang sangat diharapkan adalah adanya transfer teknologi dan memancing investasi lainnya akan masuk," tuturnya.
Baca Juga: Pertamina Didorong Bentuk Perusahaan Patungan untuk Target Bangun Kilang 1 Juta Barel
Namun, kata Bisman, perlu menjadi catatan aspek pentingnya, yakni dengan opsi tersebut infrastruktur energi akan berkembang pesat karena masuk investasi dari AS tetapi harus menjadi perhatian antisipasi aspek negatifnya yaitu ketergantungan sektor energi Indonesia pada AS yang ini rawan dari aspek keamanan dan kedaulatan energi Indonesia.
"Untuk itu segala aspek harus dipertimbangkan dan dipersiapkan dengan baik oleh Pemerintah," imbuhnya.
Bangun Kilang di Beberapa Lokasi
Berdasarkan catatan Kontan, pemerintah berencana membangun kilang minyak dengan kapasitas total 1 juta barel per hari (bph) di beberapa lokasi di Indonesia.
Rencana ini merupakan revisi dari proyek sebelumnya yang hanya menargetkan pembangunan satu kilang berkapasitas 500.000 bph di Pulau Pemping, Kepulauan Riau.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengonfirmasi perubahan rencana ini dengan menyebut bahwa pembangunan kilang akan tersebar di beberapa wilayah.
"Jadi Pak Menteri ESDM sudah menyampaikan revisi itu, tidak di satu titik, tetapi akan dibangun di beberapa titik. Jadi ada di Sumatera, Kalimantan, dan mungkin juga di kawasan timur Indonesia lain," kata Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (12/3).
Namun, Yuliot belum memberikan kepastian mengenai kapasitas masing-masing kilang yang akan dibangun. Menurutnya, proyek ini masih dalam tahap konsolidasi dan akan disesuaikan dengan skala ekonomis.
Terkait nilai investasi proyek ini, Yuliot bilang perhitungan masih dilakukan sesuai dengan arahan terbaru pemerintah. Selain itu, proyek ini tetap mempertimbangkan integrasi dengan infrastruktur penyimpanan minyak di Pulau Pemping.
Baca Juga: Kemenperin: Ekspansi Kilang Minyak Bakal Dukung Pertumbuhan Petrokimia dalam Negeri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News