Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah disarankan untuk merevisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 5 Tahun 2021, yang mengatur tata cara penerbitan persetujuan teknis dan surat kelayakan operasional di bidang pengendalian pencemaran lingkungan.
Beleid ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ketua Dewan Pakar Pusaka Kalam, Yanto Santosa, dalam sebuah forum diskusi di Bogor, menyebut revisi tersebut penting untuk mendukung pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) pada lahan perkebunan.
Baca Juga: Produk Hilir Sawit Capai 193 jenis, Ekspornya Tembus Rp 450 Triliun
"Itu sebabnya perlu adanya perubahan paradigma dari menganggap LCPKS sebagai sampah berbahaya yang harus dibuang menjadi sumberdaya yang memiliki multi manfaat," ujar Yanto seperti dikutip, Rabu (27/11/2024).
Yanto mengungkapkan bahwa pengelolaan LCPKS menghadapi sejumlah tantangan, termasuk pemahaman yang minim terhadap manfaat agronomis, ekonomi, dan lingkungan dari limbah tersebut.
Selain itu, pembuangan limbah cair dengan Biological Oxygen Demand (BOD) di bawah 100 mg/L ke badan air tetap berisiko merusak ekosistem, karena mengandung unsur hara seperti kalium, fosfat, dan amonium yang dapat menyebabkan eutrofikasi dan kematian biota air.
Baca Juga: Ombudsman RI Rilis Hasil Kajian Sistemik Kelapa Sawit
Ia menilai bahwa pencabutan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 28 dan 29 Tahun 2003 oleh Permen LHK No. 5 Tahun 2021 menyebabkan kekosongan regulasi mengenai standar teknis pemanfaatan LCPKS untuk aplikasi lahan (land application).
"Permen LHK No. 5/2021 belum mengatur secara detail prosedur, standar baku mutu, serta waktu pengurusan persetujuan teknis dan Surat Kelayakan Operasional (SLO)," kata Yanto.
Yanto menegaskan pentingnya penerapan land application dengan memperhatikan dosis dan frekuensi optimal, jenis tanah, serta faktor lingkungan seperti cuaca dan redoks.
Pada tingkat BOD 3.000–5.000 mg/L dengan nilai redoks di bawah -150 mVolt, limbah ini dapat memberikan input unsur hara optimal tanpa memicu emisi gas metana.
Baca Juga: PalmCo dan reNIKOLA Teken Kerjasama Pembangunan 40 Fasilita EBT senilai US$ 240 juta
Teknologi seperti Methane Capture dan Methane Bio-digester telah diterapkan di beberapa pabrik kelapa sawit. Meski mampu menghasilkan energi setara 1 MWh per hari, Yanto mencatat bahwa tarif biogas yang rendah membuat teknologi ini kurang menguntungkan secara ekonomi.
Namun, dari sisi ekologi, pemanfaatan metana mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) hingga setara dengan 572.000–693.000 ton CO₂ per tahun.
Yanto menyarankan agar pemerintah mempercepat revisi regulasi untuk mendukung pemanfaatan LCPKS secara optimal dan berkelanjutan. Ia juga menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha dalam pengembangan teknologi pengolahan limbah.
"Perusahaan perlu meningkatkan transparansi dalam pengelolaan limbah dan melaporkannya secara rutin kepada instansi terkait," tambahnya. Selain itu, Yanto mendorong peningkatan sosialisasi dan edukasi mengenai manfaat dan risiko LCPKS dari aspek lingkungan, agronomi, dan ekonomi.
Selanjutnya: Sejahteraraya Anugrahjaya (SRAJ) Cetak Laba Rp 8,3 Miliar, Cek Rekomendasi Sahamnya
Menarik Dibaca: Apakah Stres Bisa Menurunkan Berat Badan? Cek Jawabannya di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News