Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah kini getol memperbaiki tata kelola sektor mineral dan batubara. Sejumlah kebijakan signifikan pun mulai dilakukan pemerintah.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberlakukan kebijakan larangan ekspor batubara untuk periode 1 Januari 2022 hingga 31 Januari 2022. Pelarangan ekspor ini pun sebagai langkah pemerintah untuk mengamankan pasokan batubara bagi kebutuhan dalam negeri khususnya untuk pasokan pembangkit listrik.
Selanjutnya, Kementerian ESDM memastikan akan mencabut 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Minerba untuk izin-izin usaha yang tidak dijalankan, tidak produktif, tidak dialihkan ke pihak lain serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan.
Menanggapi berbagai upaya pemerintah ini, Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengungkapkan langkah pemerintah patut diapresiasi pasalnya hal ini menunjukkan adanya upaya untuk kian memperbaiki tata kelola perizinan sektor minerba.
Baca Juga: Ekspor Dilarang, Kapal Pengangkut Batubara Tertahan di Pelabuhan
Menurutnya, secara umum evaluasi untuk IUP Minerba dapat dilakukan dengan mempertimbangkan empat indikator antara lain ketertiban administratif, tidak bermasalah secara lingkungan, memenuhi kewajiban keuangan dan finansial kepada negara serta memenuhi secara keteknisan salah satunya melalui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB).
Redi melanjutkan, izin-izin yang tidak dimanfaatkan atau dikelola justru berpotensi menghambat investasi.
"Padahal kalau izin diberikan pada yang berkomitmen, ini kan bisa memberikan nilai tambah bagi pengusahaan minerba kita," ungkap Redi kepada Kontan, Kamis (6/1).
Redi bilang, ke depannya pemerintah perlu melakukan evaluasi secara rutin terhadap IUP-IUP yang ada. Evaluasi sejatinya dapat dilakukan dengan merujuk pada RKAB yang diajukan oleh setiap perusahaan.
Sementara itu, terkait kebijakan larangan ekspor yang dilakukan pemerintah, Redi menilai pemerintah perlu memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang memang belum memenuhi komitmen Domestic Market Obligation (DMO).
Kendati demikian, Redi pun menyarankan agar perusahaan yang memang telah memenuhi DMO agar dapat segera diberikan hak untuk melakukan ekspor.
Pasalnya, para perusahaan umumnya terikat kontrak dengan para pembeli. "Ketika ekspor dilarang, dia punya potensi digugat karena tidak penuhi kewajiban kontrak," sambung Redi.
Baca Juga: Kementerian ESDM Cabut 2.078 Izin Usaha Pertambangan Minerba
Redi menambahkan, kendala pasokan batubara seharusnya bisa diantisipasi sejak awal dengan merujuk pada RKAB yang ada. Ia mencontohkan, semisal ada perusahaan yang produksi dalam RKAB-nya disetujui sebanyak 100 juta ton, maka jelas 25 juta ton diperuntukkan bagi dalam negeri.
Dari jumlah tersebut, jika perusahaan memiliki kontrak dengan buyer melebihi 75 juta ton maka dapat dipastikan kebutuhan dalam negeri pasti tidak akan dipenuhi.
"Evaluasi Kementerian ESDM harus tepat, apalagi jika perusahaan sudah berkontrak dengan pembeli luar negeri maka nantinya DMO tidak terpenuhi dan di sisi lain ada potensi perusahaan batubara digugat," jelas Redi.
Di sisi lain, pemerintah pun juga berencana mengubah skema evaluasi DMO ke depannya. Nantinya evaluasi DMO bakal dilakukan setiap bulannya.
Menurut Redi, evaluasi DMO memang idealnya dilakukan setiap bulannya. Hal ini juga dapat menghindari situasi krisis pasokan batubara dalam negeri.
"Saya kira memang lebih baik tiap bulan tadi perlu dilakukan dan harus ada sanksi tegas (bagi yang tidak penuhi komitmen)," pungkas Redi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News