kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah Mengkaji Pajak Ekspor Sejumlah Produk Nikel, Begini Tanggapan Pelaku Usaha


Kamis, 13 Januari 2022 / 19:12 WIB
Pemerintah Mengkaji Pajak Ekspor Sejumlah Produk Nikel, Begini Tanggapan Pelaku Usaha
ILUSTRASI. Pemerintah sedang mengkaji pungutan pajak ekspor untuk sejumlah produk nikel yakni nikel pig iron dan feronikel.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Deputi Bidang Pertambangan dan Investasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Septian Hario Seto membenarkan bahwa saat ini pemerintah sedang mengkaji pungutan pajak ekspor untuk sejumlah produk nikel yakni nikel pig iron dan feronikel. Namun, pihaknya belum bisa menjelaskan lebih rinci bagaimana gambaran pungutan ekspor ini nantinya. 

Dari pihak hulu, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendukung pungutan pajak ekspor untuk kedua komoditas nikel ini supaya negara bisa mendapatkan value aded dari industri pengolahan mineral. Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey mengatakan selama itu menguntungkan negara pihaknya tentu sangat mendukung kebijakan tersebut. 

Meidy menerangkan, jika ditarik ke belakang pada saat dahulu Kementerian ESDM mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian (IUP OPK Olah Murni) untuk pabrik atau smelter, output nikel dibebankan bea keluar. Namun, pada saat ditarik ke produk perindustrian dengan Izin Usaha Industri (IUI) bea keluarnya dibebaskan. 

"Dalam hal ini apa yang didapatkan negara? Tidak ada. Kami miris di mana produk nikel misalnya saja nikel pig iron atau feronikel yang diekspor ke China itu dibebankan bea masuk sekitar 15%. Masa di kita gratis tetapi di sana terima 15% padahal mereka tidak produksi, tentu tidak fair," kata dia kepada Kontan.co.id, Kamis (13/1). 

Baca Juga: Prospek Saham Nikel Dipoles Kenaikan Permintaan Baja Nirkarat

Meidy mengatakan, saat ini industri hilir nikel sudah banyak mendapatkan fasilitas pajak seperti tax allowance dan tax holiday. Meidy tidak menampik, bahwa kebijakan tersebut sangat bagus untuk membuat industri nikel menjadi lebih menarik sehingga dapat mengundang investor membangun smelter di Tanah Air. 

Namun, Meidy berpesan semua produk terutama olahan mineral nikel harus memberikan kontribusi pada penerimaan negara. "Supaya negara mendapatkan value aded dari industri pengolahan mineral," kata Meidy. 

Menurut Meidy, meskipun smelter membutuhkan investasi yang besar, di saat tren harga nikel yang sangat tinggi, produsen nikel mendapatkan untung yang besar. "Tentu nanti hasil pungutan tersebut untuk negara dan membangun daerah sehingga dari APNI sangat mendukung," tegasnya. 

Baca Juga: Meski Harga Komoditas Melonjak, Pemerintah Yakin Inflasi Tetap Terjaga 3% di 2022

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menilai pengenaan pajak ini akan memberikan tekanan kepada industri nikel. Direktur INCO, Bernardus Irmanto mengatakan, sejauh ini dirinya belum mengetahui dengan jelas, apakah produk olahan nikel lain (di luar NPI dan FeNi) seperti Nickel Matte atau MSP/MHP akan diperlakukan sama. 

"Namun, pengenaan pajak ini akan memberikan tekanan terhadap industri nikel, terutama Perusahaan yang melakukan ekspor produk olahan nikel. PT Vale tidak terkecuali karena kami mengekspor semua produk kami ke Jepang," jelasnya saat dihubungi terpisah. 

Menurut Bernardus, jika tujuan dari pengenaan pajak ini untuk mendorong hilirisasi, mungkin perlu dikaji waktu pelaksanaan dengan ketersedian downstreaming facility di Indonesia. 

Dia bilang, tidak semua perusahaan berencana melakukan hilirisasi. Bernardus mengungkapkan, Vale Indonesia tidak mempunyai rencana bisnis untuk membangun refinery untuk Nickel Matte atau mempunyai rencana masuk ke industri EV battery precursor misalnya. "Dengan ini, pemerintah perlu mendorong ekosistem hulu hilir produk nikel," ujar Bernardus. 

Baca Juga: Ini Penyebab Harga Saham Aneka Tambang (ANTM) Anjlok

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×