Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
Peluang Bisnis Baru
Tutuka optimsitis, ke depannya penyimpanan karbon ini bisa menjadi bisnis baru yang bisa dioptimalkan di Indonesia.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menyatakan pengembangan CCS/CCUS sangat penting karena merupakan game changer bagi Indonesia yang gencar melakukan dekarbonisasi.
“Untuk mencapai Net Zero Emission di 2050 program dekarbonisasi atau pengembangan energi baru terbarukan (EBT) saja tidak cukup,” ujar Nicke kemarin (25/7).
Pasalnya, hingga 2060 energi fosil masih dimanfaatkan, meski cenderung berkurang. Namun, untuk menyeimbangkan emisi yang keluar dengan produksi energi fosil ini, diperlukan inisiatif yang bersifat negative carbon yakni CCS.
Baca Juga: Dukung Target Net Zero Emission Tahun 2060, Ini Strategi Pertamina
Pertamina memiliki tanggung jawab besar sebagai motor untuk mencapai komitmen nol emisi. Sektor energi diproyeksikan sebagai sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia tahun 2030, dan juga diharapkan memiliki kontribusi yang signifikan dalam pengurangan emisi karbon.
Nicke menyebut, saat ini emisi per kapita Indonesia masih di bawah rata-rata emisi CO2 per kapita dunia (di bawah 3 ton per orang). Adapun, Indonesia memiliki potensi dari klaster Integrasi untuk CCUS end-to-end dan berinovasi sebagai penyedia energi hijau di klaster tersebut.
Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, kapasitas penyimpanan CO2 potensial mencapai 80 giga ton hingga 400 giga ton CO2 di depleted reservoir serta saline aquifer.
Dengan kapasitas penyimpanan CO2 yang sangat besar ini, proyek dekarbonisasi di Indonesia juga akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penurunan emisi dunia.
“Melihat ini, banyak negara dan industri yang tertarik bekerja sama dengan Pertamina khususnya karena kami sudah berhasil melakukan CCUS di Jatibarang bersama partner dari Jepang. Hasilnya juga bagus,” ujarnya.
Saat ini Pertamina tengah melakukan proyek penangkapan karbon di Lapangan Sukowati, Jawa Timur.
Dengan demikian, lanjutnya, kompetensi atau pengalaman Pertamina mengembangkan CCUS yang dikuatkan juga dengan potensi yang dimiliki Indonesia, merupakan terobosan sangat besar yang dilakukan Pertamina.
President Indonesia Petroleum Association (IPA), Yuzaini Md Yusof dalam sambutannya, mengatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang cukup cepat bergerak dalam implementasi CCS/CCUS.
Hal ini tercermin dari adanya Peraturan Menteri ESDM no 2/2023 tentang pengaturan CCS/CCUS di industri hulu migas.
Ke depan, lanjutnya, ada beberapa hal yang harus disiapkan Indonesia untuk mengimplementasikan CCS/CCUS ialah kebijakan fiskal, tax credit serta kebijakan harga karbon serta kesiapan storage carbon.
"Meskipun proyek CCS/CCUS sudah mulai berkembang, masih banyak proyek yang berisiko tinggi dan membutuhkan dukungan regulasi lebih lanjut,” ujarnya.
Baca Juga: Dorong Kinerja, Ini Strategi Bisnis Hulu Migas Pertamina Agar Sejalan Transisi Energi
Keberhasilan proyek CCS/CCUS utamanya masih bergantung pada dukungan regulasi dan daya tarik secara komersial.
“Tentu masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan," jelas Yuzaini.
Indonesia Petroleum Association (IPA) Board, yang juga Presiden Direktur ExxonMobil Cepu Limited, Carole Gall, mengungkapkan bahwa ExxonMobil memproyeksikan permintaan energi naik 15% rata-rata per tahunnya. Kemudian 55% dari permintaan dunia akan energi tersebut akan dipenuhi dari migas.
"Ini masih merupakan jumlah energi signifikan yang dipenuhi dari migas. Itu semua masih membutuhkan migas, solusi nya tangani emisi dari migas adalah CCS/CCUS,” ujarnya.
Carole menjelaskan, selain menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan energi untuk beberapa dekade ke depan, sektor migas memainkan peran penting sekaligus unik dalam transisi energi karena memiliki sumber daya manusia yang mumpuni dalam mengawal transisi energi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News