kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.306.000 -0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemilikan asing di properti masih jalan di tempat


Senin, 22 Agustus 2016 / 16:24 WIB
Pemilikan asing di properti masih jalan di tempat


Reporter: Handoyo | Editor: Adi Wikanto

Jakarta. Pelonggaran kebijakan terkait kepemilikan properti bagi warga asing masih belum berjalan. Penggembang belum dapat mengimplementasikan lantaran masih ada ganjalan tentang status tanah yang disyaratkan dan tingginya harga jual yang ditetapkan.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, status rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing adalah berstatus hak pakai.

Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI), Eddy Hussy mengatakan, status tanah hak pakai tersebut sulit didapatkan karena tidak ada suplai. "Kami menerima status hak pakai, tetapi kalau bisa semua diseragamkan," kata Eddy, belum lama ini.

Implementasi dari pembangunan properti di atas tanah yang berstatus hak pakai juga sulit diterapkan. Bila dalam satu blok apartemen pemiknya bercampur antara penduduk Indonesia dan warga asing maka cara untuk pemisahan status tanah akan sulit.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Perumahan REI Dadang H Juhro menambahkan, status tanah hak pakai sangat sedikit jumlahnya. Bila ada, kebanyakan digunakan untuk lahan perkebunan. Sehingga sulit bila dikembangkan untuk perumahan.

Menanggapi hal tersebut, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil mengatakan, pihaknya masih akan mengkaji dengan kementerian terkait tentang hal tersebut. Meski demikian, Sofyan akan segera mengeluarkan fatwa yang menyatakan bila status hak pakai akan sama dengan hak guna bangunan (HGB). "Saya akan keluarkan fatwa sebagai menteri ATR/BPN," ujar Sofyan.

Selain belum jelasnya aturan tentang status tanah, persoalan lain ialah banderol harga yang dinilai terlalu tinggi. Batasan harga jual yang telah ditetapkan dalam beleid tentang pelonggaran kepemilikan properti bagi warga asing tidak menarik.

Sebagai implementasi aturan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah merilis Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia.

Dalam lampiran Permen itu disebutkan, untuk rumah tinggal harga satuan termurah di Jakarta adalah Rp 10 miliar; Banten, Jabar dan Jatim Rp 5 miliar; Jateng, DIY, dan Bali Rp 3 miliar; NTB, Sumut, Kaltim, dan Sulsesl Rp 2 miliar; dan daerah lainnya di luar daerah-daerah tersebut Rp 1 miliar.

Adapun untuk rumah susun harga termurah di Jakarta Rp 5 miliar; Banten, Jabar, Jateng, dan DIY Rp 1 miliar; Jatim Rp 1,5 miliar; Bali Rp 2 miliar; NTB, Sumut, Kaltim, dan Sulsesl masing-masing Rp 1 miliar; dan daerah lainnya Rp 750 juta.

Menurut Dadang, harga yang ditetapkan tersebut terlalu mahal sehingga tidak banyak orang asing yang tertarik untuk membeli. Akibatnya tidak akan mendongkrak kepemilikan properti bagi warga asing. "Harga ketinggian. Seharusnya bisa lebih rendah," kata Dadang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×