Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target hilirisasi pemerintah di sektor pertambangan usai revisi Undang-undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) disahkan, akan mengalami ujian.
Terutama dalam hal kesanggupan golongan prioritas penerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk bisa memberikan nilai tambah atas hasil tambang yang telah dikeruk.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, dalam UU Minerba yang baru, baik usaha kecil menengah (UKM), koperasi, maupun organisasi masyarakat (ormas) keagamaan tetap memiliki kewajiban untuk melakukan proses hilirisasi.
"Ya, ada yang untuk hilirisasi kemudian ada yang dia menyuplai untuk industri. Jadi kita kerjasamakan mereka ya," ungkap Bahlil saat ditemui di kantor ESDM, Jakarta, Jumat (21/2).
Baca Juga: Kegalauan Industri Tambang dan Smelter Usai UU Minerba Disahkan
Sementara, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menilai, proses tersebut menuntut banyak ketentuan yang harus dipenuhi para penambang.
"Pasokan (bahan baku tambang) yang diterima oleh smelter diawali dengan proses yang cukup panjang dalam rangka untuk menciptakan adanya kepastian supply dan kepastian spesifikasi bahan baku," ungkap Sekretaris Jenderal AP3I, Haykal Hubeis saat dihubungi Kontan, Kamis (20/02).
Untuk dapat memasok ke smelter, para penambang harus melakukan kontrak terlebih dahulu kepada pemilik smelter melalui Kontrak Kerja Sama (KKS).
Dalam kontrak itu akan dijabarkan secara detail, mulai dari proses penambangan, kelengkapan dokumentasi yang dimiliki, kemampuan alat berat, dan kepastian dari sisi waktu penambang untuk memasok bahan baku ke smelter.
"Katakanlah, dalam kontrak itu harus bisa jelas dipenuhi (pasokan) selama berapa lama, itu semuanya harus clear dan clean," tambahnya.
Baca Juga: Dibayangi Kelebihan Pasokan, Harga Nikel Masih Cukup Berat Tahun Ini
Detail yang terlalu saklek dan rigid, kata Haykal, tak ayal membuat banyak pemilik smelter ikut campur dalam proses pertambangan agar sesuai dengan spesifikasi yang diminta.
"Dalam banyak kasus bahkan beberapa smelter pun ikut campur tangan untuk membuat itu (hasil tambang) lebih baik agar sesuai dengan spesifikasi," ungkap Haykal.
Secara umum, dirinya bilang tidak mudah dan tidak gampang untuk menjalin kepastian atau mendapatkan kontrak dari smelter. Sebab smelter adalah industri yang sifatnya long-term.
"Smelter adalah industri yang pasti dan kalkulatif, jadi kepastian sumber daya mineral itu harus ada setiap saat, harus aman, bahkan sebelum bahan baku itu digunakan," ucapnya.
Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) juga mengingatkan, pengelolaan lebih lanjut terkait tambang memiliki kompleksitas yang tinggi sehingga harus dilakukan pihak yang profesional.
"Kita menambang kan bukan hanya sekedar menggali atau mencangkul saja, tapi tidak perlu proses yang lebih kompleks. Pemain lama saja banyak yang mengungkap masih kesulitan memfinalisasi hasil tambangnya dalam tahap hilirisasi," kata Ketua ABI Ronald Sulistyanto, Kamis (20/02).
Baca Juga: UU Minerba Baru Dinilai Berpotensi Hambat Target Hilirisasi Pemerintah, Ini Alasannya
Ronald menambahkan, penambahan golongan prioritas dalam UU Minerba juga membuka peluang terbukanya IUP baru, yang berpengaruh pada perluasan lahan tambang yang sudah ada.
"Ya, pasti kalau ada IUP baru pasti akan mencari lahan baru untuk bisa mendapatkan cadangan yang cukup untuk diberikan kepada pemegang IUP," katanya.
Padahal masalah lahan, di sektor tambang masih menjadi hal krusial yang belum terselesaikan dengan maksimal. Menurutnya masih banyak lahan tambang yang tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.
"Kita sudah masuk, tapi tidak ada lahan yang kosong, jadi harus Bussines to Bussines (B2B) kepada pemegang HGU. Iya kalau dikasih, kalau tidak dikasih tidak ada punishmentnya, karena tidak ada aturannya," jelas Ronald.
Asal tahu saja, kewajiban hilirisasi dalam pertambangan tertulis dalam pasal 102,103 dan 104 dari UU Minerba No 3 Tahun 2020 terkait dengan kewajiban hiliriasi atau pemurnian.
Dalam daftar revisi UU Minerba, ketiga pasal ini tidak masuk dalam pasal yang direvisi, sehingga tetap berlaku pada UU Minerba yang baru.
Adapun Pasal 102 UU Minerba tertulis sebagai berikut:
(1) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi
Produksi wajib meningkatkan nilai tambah Mineral dalam kegiatan Usaha Pertambangan melaiui:
a. Pengolahan dan Pemurnian untuk komoditas tambang Mineral logam;
b. Pengolahan untuk komoditas tambang Mineral bukan logam; dan/atau
c. Pengolahan untuk komoditas tambang batuan.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Tambang Pilihan dan Catatan Analis Pasca Revisi UU Minerba
(2) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi dapat melakukan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara.
(3) Peningkatan nilai tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) wajib memenuhi batasan minimum Pengolahan danf atau Pemurnian, dengan mempertimbangkan antara lain:
a. peningkatan nilai ekonomi; dan/atau
b. kebutuhan pasar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan minimum Pengolahan dan atau Pemurnian diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya: Laba Bersih Allo Bank Naik 5,07% YoY pada 2024
Menarik Dibaca: Harga Emas Turun dari Rekor Puncak, Tapi Masih Naik 8 Minggu Beruntun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News