Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah untuk memasukan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, Usaha Kecil Menengah (UKM) dan koperasi sebagai penerima tambang prioritas dalam Undang-undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru, dinilai akan menghambat target hilirisasi pemerintah sendiri.
Menurut Pengamat pertambangan sekaligus peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman dalam UU Minerba sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 telah tertulis bahwa terdapat larangan untuk melakukan usaha pertambangan tanpa adanya proses pemurnian melalui smelter terhadap bahan baku mineral yang ditambang.
"Ini (UU Minerba) dia bertabrakan juga dengan aturan di atasnya. Kan sudah jelas, nggak boleh menambang kalau nggak ada pemurnian, gak bangun smelter," ungkap Ferdy kepada Kontan, Selasa (18/02).
Untuk diketahui, aturan mengenai kewajiban pemurnian dalam hal ini yang dilakukan di smelter, sebelumnya tertuang dalam UU Minerba No 3 Tahun 2020 pasal 102, 103 dan 104.
Dan dalam UU Minerba yang baru, ketiga pasal di atas tidak mengalami revisi atau perubahan sehingga tetap berlaku.
Baca Juga: Kementerian ESDM Beberkan Hasil Investigasi Kebakaran Smelter Freeport
Ferdy menambahkan, pemberian IUPK kepada ormas, koperasi dan UKM otomatis akan dibarengi dengan kewajiban pemurnian hasil tambang.
Yang kemudian akan berdampak pada peningkatan biaya atau cost yang harus dikeluarkan jika ormas, koperasi dan UKM belum bisa membangun smelter sendiri. Dimana untuk mengirim hasil tambang ke smelter, pemegang IUP harus terlebih dahulu memiliki kontrak kerja sama (KKS).
"Jadi gak sekedar gali gali tambang saja. Kalau saya lihat, benar-benar rancu di Undang-Undang ini cara berpikirnya," tambah dia.
Selain mengirim hasil tambang langsung smelter yang sudah eksisting atau sudah beroperasi, Ferdy bilang kemungkinan pembangunan smelter baru demi menampung hasil tambang dari ormas, koperasi dan UKM cukup kecil.
Karena pembangunan smelter baru membutuhkan biaya yang tidak sedikit, ditambah dengan potensi kerusakan lingkungan yang meningkat.
"Kalau kita mau bangun misalnya smelter yang gede, kayak PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) ya, mungkin saja bisa ambil (hasil tambang) dari UMKM, tapi risiko untuk lingkungan hidupnya terlalu besar karena tambang ini industri yang sangat destruktif," jelasnya.
Baca Juga: UU Minerba: Negara bisa Ambil Alih Lahan Tambang yang Terlibat Sengketa
Ormas, Koperasi dan UKM akan Berhadapan Pada Standar Pemurnian Smelter
Selain kewajiban pemurnian, pemerintah harusnya patut mempertimbangkan standar yang akan diberikan pemilik smelter terhadap para penambang.
Di awal pembahasan UU Minerba, menurut Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, pada industri nikel terjadi hambatan hilirisasi karena adanya standar permintaan dari smelter.
Banyaknya smelter nikel di Indonesia ungkap dia, juga tidak serta merta dapat menyerap bijih nikel yang ditambang karena kerap mempertimbangkan kadar nikel dan persentase silika-magnesium yang terkandung di dalamnya.
"Rasionya itu banyak yang nggak compatible. Jadi nggak semua hasil tambang nikel itu bisa 'dimakan' oleh smelter yang ada sekarang," jelasnya dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/01).
Meidy juga sempat menyinggung banyaknya smelter di Indonesia khususnya smelter nikel yang dikuasai oleh asing.
"Smelter semuanya asing, kecuali Antam. Hampir 100% mayoritas masih asing. Bahkan Vale saja asing," ungkapnya.
Sebagai tambahan, berikut adalah isi pasal 102 dari UU Minerba No 3 Tahun 2020 terkait dengan kewajiban hiliriasi atau pemurnian.
Dalam daftar revisi UU Minerba, pasal 102, 103 dan 104 yang memuat kewajiban peningkatan nilai tambah melalui proses pemurnian tersebut, tidak masuk dalam pasal yang direvisi.
Baca Juga: UU Minerba Baru: Pengelolaan Lahan Tambang Bisa di Luar Eks PKP2B
Pasal 102:
(1) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi
Produksi wajib meningkatkan nilai tambah Mineral dalam kegiatan Usaha Pertambangan melaiui:
a. Pengolahan dan Pemurnian untuk komoditas tambang Mineral logam;
b. Pengolahan untuk komoditas tambang Mineral bukan logam; dan/atau
c. Pengolahan untuk komoditas tambang batuan.
(2) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi dapat melakukan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara.
(3) Peningkatan nilai tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) wajib memenuhi batasan minimum Pengolahan danf atau Pemurnian, dengan mempertimbangkan antara lain:
a. peningkatan nilai ekonomi; dan/atau
b. kebutuhan pasar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan minimum Pengolahan dan atau Pemurnian diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News