kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Ada UU Cipta Kerja, impor pangan lebih mudah dilakukan


Senin, 12 Oktober 2020 / 07:10 WIB
Pengamat: Ada UU Cipta Kerja, impor pangan lebih mudah dilakukan


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas  menilai, dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja maka impor pangan akan lebih mudah dilakukan.

Hal ini lantaran adanya perubahan beberapa aturan mengenai impor produk pertanian. Misalnya aturan mengenai  pasal 1 angka 7 UU nomor 18/2012 tentang Pangan, dimana disebutkan bahwa Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan.

"Sudah jelas [impor pangan semakin mudah masuk Indonesia]. Karena penyediaan pangan di dalam negeri ada dua, satu produksi dalam negeri satunya lagi impor. Sehingga [impor] tanpa memperhatikan kecukupan pangan yang diproduksi dari negeri," kata Dwi kepada Kontan, Minggu (11/10).

Baca Juga: Omnibus law bisa mengembuskan angin segar bagi emiten properti

Padahal menurutnya, dengan Undang-Undang tentang Pangan, impor bisa dilakukan dengan catatan produksi di dalam negeri kurang atau tidak memenuhi kebutuhan. "Kalau sebelumnya kan ada catatannya di Undang-Undangnya. Misalnya kalau kurang maka kekurangan tersebut dipenuhi lewat impor, dalam arti mengutamakan produksi dalam negeri. Kalau sekarang kan tidak," jelasnya.

Memang sebelum diubah,  pasal 1 angka 7 dalam UU tentang Pangan disebut, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Menurutnya, bila pemerintah memang ingin mencapai ketahanan pangan, maka impor bukanlah hal yang salah. Namun, Dwi menjelaskan bahwa konsep yang digaungkan Presiden Jokowi terhadap kebijakan pangan adalah kedaulatan pangan. Bila melihat perubahan aturan ini, maka hal tersebut menurutnya bertentangan dengan konsep kedaulatan pangan.

Lebih lanjut, Dwi pun mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan aturan impor ini pun merupakan konsekuensi Indonesia yang merupakan anggota WTO. Meski begitu, dia pun berpendapat perubahan aturan ini tidak harus ekstrem. Dia berpendapat, seharusnya aturan yang mengutamakan produksi dalam negeri tak seharusnya diubah.

Baca Juga: Analis: Relaksasi pajak omnibus law akan membantu kinerja emiten

"Sebenarnya dengan mengutamakan produk dalam negeri yang di UU sebelumnya kan tidak ada masalah. Apalagi kalau itu kemudian dikaitkan dengan konsep kedaulatan pangan. Jadi kedaulatan pangan itu kan bagaimana kita berdaulat atas pangan. Kalau kedaulatan pangan, kita tidak disetir oleh kekuatan-kekuatan asing. Jadi sekarang ini kan kita diatur, itu memang konsekuensi [anggota WTO], tetapi tidak harus seekstrem itu lah," jelasnya.

Dia juga mengatakan, meskipun terdapat ketentuan WTO, tetapi tidak semua produk harus terbuka untuk impor. Menurutnya, dalam aturan WTO pun, produk-produk yang sensitif, seperti beras, tidak harus dilakukan.




TERBARU

[X]
×