CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.364.000   21.000   0,90%
  • USD/IDR 16.752   -5,00   -0,03%
  • IDX 8.420   13,34   0,16%
  • KOMPAS100 1.164   -0,44   -0,04%
  • LQ45 848   -0,95   -0,11%
  • ISSI 294   0,44   0,15%
  • IDX30 442   -0,63   -0,14%
  • IDXHIDIV20 514   -0,01   0,00%
  • IDX80 131   0,01   0,01%
  • IDXV30 135   -0,15   -0,11%
  • IDXQ30 142   -0,01   -0,01%

Pengamat: Banyak pengembang memberi gratifikasi


Kamis, 02 Oktober 2014 / 17:40 WIB
Pengamat: Banyak pengembang memberi gratifikasi
ILUSTRASI. airasia SuperApp


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Penangkapan Direktur Utama PT Sentul City Tbk. Kwee Cahyadi Kumala sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (30/9), merupakan suatu keniscayaan. Pasalnya, menurut Pengamat tata ruang Yayat Supriyatna, seperti kebanyakan pengembang, Kwee Cahyadi, juga melakukan gratifikasi untuk mendapatkan perizinan lahan terkait proyek milik PT Bukit Jonggol Asri.

"Rata-rata, di tata ruang itu, kalaupun terjadi pelanggaran tata ruang, ada pada aspek pemberian hadiah," ujar Yayat saat dihubungi, Kamis (2/9).

Dia menuturkan, peraturan tata ruang adalah peraturan paling berat. Jika dalam peraturan disebutkan lahan tersebut tidak boleh digunakan untuk pembangunan, seharusnya itu dipatuhi. Untuk itulah, jika pada praktiknya banyak yang tidak sesuai, harus menjadi tanda tanya besar. Pertanyaan ini kemudian berakhir pada dua kesimpulan.

"Apakah mereka tidak tahu aturan atau melanggar aturan?," kata Yayat.

Yayat menambahkan, kebanyakan pengembang memiliki mimpi besar dalam membangun properti pada satu kawasan. Tetapi, pembangunannya tidak sesuai tata ruang atau dipaksakan.

Tak hanya itu. Ketika pengembang berencana mengekspansi wilayah ke daerah lain, mereka seringkali berbenturan dengan kondisi hutan. Kebanyakan pengembang lalu ingin mengambil lahan-lahan berpotensi, tetapi tersandung pada status lahan yang belum berubah sehingga muncul keinginan melakukan gratifikasi.

"Mereka berpikir kawasan hutan itu tidak banyak pembebasan tanahnya, sedangkan aspek pada perubahan status itu dikeluarkan atas rekomendasi bupati dan izin menteri kehutanan," kata Yayat.

Dia pun menyarankan, ada baiknya pengembang menyesuaikan obsesi perluasan kawasan dengan aspek tata ruang. Kemudian, bagi pejabat yang berwenang, sebaiknya tidak membuat peraturan setelah lobi dengan pengembang. Celah ini, menurut Yayat, selalu ada.

"Di Kabupaten Bogor itu, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, tapi jadi mungkin. Kabupaten Bogor banyak alih fungsi karena tekanan pengembang. Terakhir perda-nya mau diubah-ubah," tuding Yayat. (Arimbi Ramadhiani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×