Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara menyoroti skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri
Meski skema ini sudah dicabut dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET pihaknya meminta publik untuk mengawal ketat agar power wheeling tidak masuk dalam kebijakan ini.
“Kita meyakini dan melihat di banyak negara, jika ini diterapkan di Indonesia bisa merugikan BUMN, negara lewat APBN, maupun kita sebagai konsumen,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (24/1).
Pada kondisi saat ini di mana jaringan transmisi PLN sedang mengalami oversupply, penggunaan listrik EBT yang menggunakan transmisi PLN akan merugikan perusahaan setrum milik negara ini. Bahkan menurut Marwan dapat mengurangi kesempatan PLN untuk bisa bertahan (survive).
Dalam catatan Marwan, saat ini terjadi kelebihan pasokan listrik di Jawa hingga 50% hingga 60% yang akan berlangsung dalam waktu tiga tahun hingga empat tahun ke depan.
Baca Juga: Menteri ESDM: PLN Memiliki Kewajiban Menyediakan Energi Baru Terbarukan (EBT)
Hal yang sama diakui Marwan juga terjadi di wilayah lain, salah satunya di Sumatera di mana over supply mencapai 40%-50%.
“Dalam kondisi pasokan listrik berlebih ini sebetulnya supply tambahan listrik EBT saat ini juga tidak dibutuhkan. Kemudian di sisi lain ada rencana IPP untuk memanfaatkan jaringan tranmisi punya PLN ini bakal menimbulkan banyak masalah,” ujarnya.
Power wheeling merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pola unbundling itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui keputusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK memutuskan bahwa unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945. Lalu UU itu diganti dengan UU Nomor 30 Tahun 2009, dengan menghilangkan pasal unbundling.
“Sebetulnya alasan bagi negara, bagi rakyat untuk menolak masuknya skema power wheeling ini dari sisi konstitusi, dari sisi potensi kerugian negara dan dari sisi bakal naiknya listrik kalau skema ini diterapkan,” terangnya.
Marwan menyampaikan gambaran besar efek domino yang dapat terjadi jika skema power wheeling ini berjalan.
Secara umum, lanskap swasta selama ini menjual listrik dengan harga yang lebih mahal. Kemudian, adanya skema take or pay (TOP) di mana PLN dipaksa membeli listrik meski tidak digunakan akan memberikan beban tambahan. Belum lagi adanya biaya lain yang harus ditanggung perusahaan setrum pelat merah ini.
Adapun harga listrik yang dibeli PLN serta biaya operasi listrik masuk pada perhitungan pada biaya pokok penyediaan (BPP). Jika demikian, Marwan memprediksi harga listrik akan naik.
Di dalam skema power wheeling, penjualan listrik energi bersih dari swasta menggunakan jaringan distirbusi dan transmisi milik PLN melalui open source dengan membayar fee yang ditetapkan Kementerian ESDM.
Baca Juga: Ini Penyebab Pengembangan EBT di Tanah Air Terkendala
“Berbicara transmisi, masih tidak jelas. Sebetulnya tarifnya seperti apa, pemerintah sendiri belum jelas. Jangan sampai nanti dengan tarif transmisi numpang lewat sarana PLN kemudian tarif itu tidak jelas dan tidak ada dasar perhitungan yang ilmiah dan objektif,” tegasnya.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyampaikan, penerapan power wheeling berpotensi menambah beban APBN yang merugikan negara.
“Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30%, dan pelanggan non-organik hingga 50%,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (23/1).
Penurunan jumlah pelanggan PLN itu, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik.
Dampaknya, dapat membengkakan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian.
Fahmy bahkan menilai, skema power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen, dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan pada mekanisme pasar.
Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News