Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir, masyarakat di Tanah Air seperti dihujani oleh pemberitaan soal importasi bahan pangan. Termutakhir adalah polemik perihal rencana impor beras oleh pemerintah di tengah periode panen raya yang akan berlangsung di dalam negeri.
Di tengah polemik terkait rencana impor yang cukup membuat gaduh, masyarakat dalam waktu dekat diprediksi juga akan kembali direpotkan oleh potensi kenaikan harga bahan pangan lainnya, yakni kedelai. Setidaknya prediksi kenaikan harga bahan baku tempe, tahu dan kecap ini telah disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi medio Januari lalu.
Saat itu Menteri Perdagangan memproyeksikan harga komoditas kedelai baru akan memasuki periode kestabilan harga pada pertengahan tahun ini. Bahkan ia menyebut fluktuasi harga masih bisa terjadi hingga Mei 2021.
Baca Juga: Wamendag harap IA-CEPA optimalkan Indonesia sebagai economic powerhouse
Terkerek naiknya harga kedelai di dalam negeri memang tak bisa dilepaskan dari ketergantungan terhadap kedelai impor. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, kebutuhan impor kedelai sepanjang 2021 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton. Volume ini hanya mencakup kedelai untuk kebutuhan konsumsi (produksi tahu dan tempe) dan di luar kebutuhan bungkil kedelai untuk industri pakan.
Kenaikan harga pada Januari lalu dipicu tingginya permintaan dunia, menyusul gangguan cuaca di sejumlah negara penghasil utama kedelai, dan ditingkahi dengan kondisi perekonomian dunia. Saat itu terjadi gangguan cuaca di Amerika Latin berupa Iklim La Nina di Brasil dan Argentina yang menyebabkan kondisi kekeringan sehingga penanaman kedelai mundur dan produksi turun. Argentina pun sempat diwarnai oleh aksi mogok pada sektor distribusi dan pelabuhannya.
Di Asia, Tiongkok yang tingkat demand kedelai untuk pakan ternaknya sempat melandai akibat merebaknya flu babi, belakangan kembali bangkit ketika pandemi ternak tersebut berhasil diatasi. Sekedar catatan, pada awal tahun 2021 pembelian kedelai Tiongkok ke AS meningkat menjadi 28 juta ton dari sebelumnya 15 juta ton.
Menanggapi potensi kenaikan harga produk kedelai akibat masih fluktuatifnya pasokan di pasar global, pengamat ketahanan pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi menyebut, sebagai negara yang bergantung pada komoditas impor seperti kedelai, maka permasalahan terkait fluktuasi harga di domestik merupakan sebuah konsekuensi logis yang dipastikan akan terus berulang.
Pasalnya negara-negara penghasil kedelai pun tengah menghadapi ancaman keterbatasan pangan di tengah masa pandemi COVID-19 saat ini. “Bagi negara-negara pengekspor kedelai, di saat pandemi yang belum jelas kapan akan usai ini, mereka tentu akan memilih untuk mengamankan permintaan dalam negeri dulu. Dan menyimpan stok untuk memenuhi demand di dalam negeri,” ujar Prima dalam keterangannya, Senin (5/4).
Baca Juga: PPKM mikro diperpanjang sampai 19 April, kegiatan ini yang dibatasi selama PPKM
Untuk bergerak ke arah swasembada, seperti halnya yang telah diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo, menurutnya bisa saja diupayakan dengan dibarengi sinkronisasi data seputar supply dan demand plus diikuti kejelasan seputar masa depan komoditas kedelai. Hal ini penting untuk memikat petani agar bersedia menanam kedelai.
“Pemerintah bisa memetakan kebutuhan riil kedelai. Dan karena kedelai tidak dikonsumsi rumah tangga secara langsung, bisa diketahui secara presisi kebutuhan di dalam negeri lewat koperasi-koperasi pengrajin tahu dan tempe,” ujar Prima.
Dengan memberikan kepastian pada dua faktor tadi, berikutnya bisa dimulai untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang dimiliki tiap pemerintah daerah, untuk dijadikan sentra komoditas kedelai. Prima sendiri mengatakan bahwa Indonesia memiliki sejumlah lembaga riset yang mampu menciptakan varietas-varietas kedelai yang layak ditanami sesuai dengan kondisi geografis tiap daerah. “Di IPB pun sudah ada sejumlah varietas unggul yang siap dibudidayakan,” ujarnya.
Namun Prima menggarisbawahi pentingnya upaya mendekatkan jarak antara sentra komoditas kedelai dan pusat industri pengrajin tahu, tempe maupun kecap sebagai pasar utama. Di sinilah dibutuhkan akurasi data pasar dan demand produk kedelai.
Dengan kedekatan antara sentra komoditas kedelai dengan para pengrajinnya, tentunya akan didapatkan tingkat cost yang lebih rendah di sisi distribusi. Keamanan pasokan pun bisa terjamin karena para petani kedelai tahu secara pasti berapa volume kedelai yang dibutuhkan oleh para pengrajin di daerah mereka masing-masing.
Selanjutnya: Gakoptindo minta pemerintah beri solusi kenaikan harga kedelai
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News