Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Jika tahun 2012 hingga kuartal I 2013, pengembang percaya diri dan yakin pertumbuhan properti Indonesia bakal bertahan, setidaknya menyamai performa 2011, namun kini kadarnya turun drastis.
Pengembang lebih realistis dalam menyikapi fenomena depresiasi Rupiah terhadap Dollar AS. Pasalnya, pasar (terutama investor) justru memilih menginvestasikan dananya di pasar uang (money market). Kecenderungan peralihan ini menguat saat beberapa pengembang mengalami penurunan permintaan produk baru dari pasar kelas menengah atas.
Lebih lagi, empat paket stimulus ekonomi yang digulirkan pemerintah pekan lalu bersifat jangka panjang dan tidak strategis secara jangka pendek. Padahal pelaku usaha, justru menginginkan perbaikan segera dan berharap depresiasi tidak terjadi berlarut.
Dikatakan Chairman Lippo Group, James T Riady, para pelaku sektor properti harus lebih realistis meski tetap harus mempertahankan optimisme. Bagaimana pun pasar tidak pernah membentuk satu garis lurus. Selalu naik turun dan ini merupakan hal yang normal.
"Stimulus yang dikeluarkan baik. Hanya, perlu ditambah dengan kebijakan strategis jangka pendek. Meningkatkan daya beli, mendorong ekspor dan memberikan keringanan pajak ekspor, menetapkan pajak barang mewah lebih tinggi dari rata-rata 75 persen menjadi 125 persen hingga 150 persen tidak akan membuat depresiasi Rupiah terhenti seketika," ujar James kepada Kompas.com, Selasa (27/8/2013).
Oleh karena itu, sebagai pengembang, harus pandai-pandai merancang strategi bisnis. Caranya, tetap fokus mengerjakan dan menyelesaikan proyek-proyek yang sudah dimulai. Terutama proyek di dalam negeri.
Hal senada diutarakan Presiden Komisaris Grahabuana Cikarang, Tanto Kurniawan, yang meski tetap yakin namun kadarnya tinggal 1,5 persen dari rasio 3 persen. Menurutnya para pengembang harus mengubah strategi. Anjloknya nilai Rupiah hingga 22 persen selama tujuh bulan berturut-turut bukanlah tren positif. Hal ini memicu lonjakan harga semakin menjadi.
"Pasca kenaikan BBM yang memicu pertumbuhan harga material bangunan, harga properti menjadi lebih tidak terkendali dan sulit untuk diakses oleh kalangan masyarakat berpendapatan rendah (MBR). Nah, bila pemerintah tidak sanggup mengembalikan nilai tukar ini, maka yang akan terjadi adalah mekanisme pasar memegang kendali sepenuhnya," timpal Tanto kepada Kompas.com, Rabu (28/8/2013).
Pasar kalangan menengah dan menengah atas, lanjut Tanto, akan memilih membenamkan uangnya di instrumen investasi money market ketimbang properti, karena secara nyata sangat menguntungkan. Akibatnya bagi pengembang, terjadi penurunan permintaan produk untuk kelas ini.
Meski demikian, baik James maupun Tanto, pengembang harus tetap produktif melansir proyek-proyek baru, terutama residensial. Karena pasar, khususnya residensial sebanyak 15 juta unit yang belum terpenuhi sampai saat ini, adalah peluang yang harus dimanfaatkan maksimal.
Lippo Group sendiri, menurut James, akan membuka proyek bernilai Rp 3,5 triliun di kawasan Panakukkan, Makassar, Sulawesi Selatan. Proyek ini berkonsep superblok dan akan menduplikasi konsep St Moritz Puri Indah. (Hilda B Alexander/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News