Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
Sedangkan ketika biaya kapasitas sepenuhnya dihilangkan, maka pengembalian modal pemasangan PLTS Atap hanya butuh waktu 6-7 tahun.
Sebagai catatan, perkiraan waktu tersebut menggunakan asumsi harga listrik sebesar Rp 1.467 per kWh sekaligus tidak terjadi perubahan harga.
Senada, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Yohanes Bambang Sumaryo menilai, perubahan formula penghitungan biaya kapasitas pemasangan PLTS Atap belum menguntungkan bagi konsumen industri.
Baca Juga: 15 negara sepakat selesaikan RCEP 2020, nasib India belum jelas
Apalagi, penghitungan ekspor dan impor energi listrik dari sistem PLTS Atap masih bermasalah. Dalam pasal 6 ayat 2 Permen No. 49 Tahun 2018, energi listrik pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65% atau 0,65.
Artinya, 1 watt listrik yang dihasilkan PLTS Atap akan mengurangi harga listrik PLN maksimal 0,65 watt untuk bulan berikutnya.
Menurutnya, penggunaan listrik bagi konsumen industri hanya berada di level yang tinggi di hari-hari kerja saja. Sedangkan di hari Minggu penggunaan listrik cenderung rendah karena libur.
Baca Juga: PLN bakal terbitkan surat utang global setara Rp 21 triliun
Rendahnya pemakaian listrik di hari Minggu membuat nilai efektivitas produksi PLTS Atap bagi konsumen industri turun sekitar 5% jika acuan kWh ekspornya adalah 65%.
Angka penurunan efektivitas produksi PLTS akan makin besar di kalangan rumah tangga karena pemakaian listriknya relatif rendah di siang hari. Penurunan efektivitas produksi tersebut juga bisa berujung pada masa pengembalian modal yang lebih lama.
“Bagusnya tarif kWh ekspor ditetapkan 100% atau 1:1 untuk percepatan adopsi PLTS Atap bagi masyarakat luas,” ungkap Yohanes, hari ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News