kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha dan pengguna PLTS atap keluhkan pengenaan biaya kapasitas


Selasa, 05 November 2019 / 17:16 WIB
Pengusaha dan pengguna PLTS atap keluhkan pengenaan biaya kapasitas
ILUSTRASI. PLTS di Manggarai Barat


Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan energi terbaru dan terbarukan di Indonesia masih cukup menantang. Pasalnya, pelaku usaha yang bergerak di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap masih keberatan dengan aturan main terkini.

Beleid yang dimaksud adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN.

Salah satu poin yang dipermasalahkan ada di pasal 14 ayat 2 terkait pengenaan biaya kapasitas (capacity charge) dan biaya pembelian energi listrik darurat untuk pemasangan PLTS Atap bagi konsumen dari golongan tarif industri.

Baca Juga: Harga batubara naik 2,27%, APBI: Belum menjadi tanda rebound

Biaya kapasitas tersebut merujuk pada Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2017. Dalam aturan tersebut, biaya kapasitas dihitung berdasarkan total daya mampu netto pembangkit dikali waktu 40 jam (batas beban minimum listrik menyala dalam satu bulan) kemudian dikali tarif tenaga listrik.

Sebenarnya, aturan yang tertera dalam pasal 14 tadi sudah direvisi dalam Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2019 yang disahkan pertengahan Oktober lalu.

Kini, konsumen PLTS Atap dari golongan industri hanya dikenai biaya kapasitas yang dibayar setiap bulan. Di sisi lain, konsumen dari golongan industri tak lagi dikenai biaya pembelian energi listrik darurat.

Baca Juga: Harga batubara naik 2,27%, APBI: Belum menjadi tanda rebound

Selain itu, terdapat perubahan dalam formula penghitungan biaya kapasitas pemasangan PLTS Atap. Tadinya, batas beban minimum listrik menyala dalam satu bulan ditetapkan sebesar 40 jam. Kini, angka tersebut berkurang jadi 5 jam.

Kendati demikian, perubahan tersebut belum sepenuhnya memuaskan. Kukuh Kurniawan, CEO RND Kapital yang membawahi PT ASCO Prima Surya, perusahaan pengelola aset sistem panel surya, masih mempertanyakan esensi pemberian biaya kapasitas pemasangan PLTS Atap.

“Pemerintah tidak pernah menjelaskan secara detail untuk apa biaya kapasitas itu diberikan,” katanya ketika dihubungi Kontan, Selasa (5/11).

Baca Juga: Pemerintah Indonesia berharap India tetap masuk dalam RCEP

Padahal, pihaknya berusaha membantu program pemerintah yang mengejar target tercapainya 23% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2025 nanti. Dia pun menyebut, idealnya pengenaan biaya kapasitas tersebut dihapus oleh pemerintah.

Dengan adanya pembebanan biaya kapasitas pemasangan PLTS Atap, maka potensi penghematan biaya yang diterima pemilik aset menjadi berkurang. “Tingkat pengembalian investasi pemasangan PLTS Atap juga menjadi lebih lama,” imbuhnya.

Hitungan Kukuh, ketika beban minimum pemakaian listrik masih ditetapkan sebanyak 40 jam, maka pengembalian modal pemasangan PLTS Atap butuh waktu sekitar 11 tahun. Angka ini berkurang menjadi 8-9 tahun jika beban minimum pemakaian listrik menggunakan ketentuan yang baru yakni 5 jam.

Baca Juga: Pemerintah menargetkan pembangunan jalan tol sepanjang 2.500 km hingga 2024

Sedangkan ketika biaya kapasitas sepenuhnya dihilangkan, maka pengembalian modal pemasangan PLTS Atap hanya butuh waktu 6-7 tahun.

Sebagai catatan, perkiraan waktu tersebut menggunakan asumsi harga listrik sebesar Rp 1.467 per kWh sekaligus tidak terjadi perubahan harga.

Senada, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Yohanes Bambang Sumaryo menilai, perubahan formula penghitungan biaya kapasitas pemasangan PLTS Atap belum menguntungkan bagi konsumen industri.

Baca Juga: 15 negara sepakat selesaikan RCEP 2020, nasib India belum jelas

Apalagi, penghitungan ekspor dan impor energi listrik dari sistem PLTS Atap masih bermasalah. Dalam pasal 6 ayat 2 Permen No. 49 Tahun 2018, energi listrik pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65% atau 0,65.

Artinya, 1 watt listrik yang dihasilkan PLTS Atap akan mengurangi harga listrik PLN maksimal 0,65 watt untuk bulan berikutnya.

Menurutnya, penggunaan listrik bagi konsumen industri hanya berada di level yang tinggi di hari-hari kerja saja. Sedangkan di hari Minggu penggunaan listrik cenderung rendah karena libur.

Baca Juga: PLN bakal terbitkan surat utang global setara Rp 21 triliun

Rendahnya pemakaian listrik di hari Minggu membuat nilai efektivitas produksi PLTS Atap bagi konsumen industri turun sekitar 5% jika acuan kWh ekspornya adalah 65%. 

Angka penurunan efektivitas produksi PLTS akan makin besar di kalangan rumah tangga karena pemakaian listriknya relatif rendah di siang hari. Penurunan efektivitas produksi tersebut juga bisa berujung pada masa pengembalian modal yang lebih lama.

“Bagusnya tarif kWh ekspor ditetapkan 100% atau 1:1 untuk percepatan adopsi PLTS Atap bagi masyarakat luas,” ungkap Yohanes, hari ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×