Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum lama ini, Kementerian ESDM menyebut pemerintah sedang memperbaiki kebijakan harga energi baru dan terbarukan (EBT) yang aturannya diharapkan sudah bisa diteken awal tahun depan. Kebijakan harga baru tersebut dimaksudkan untuk memastikan percepatan pengembangan EBT berjalan dengan baik, khususnya guna mengurangi neraca perdagangan yang defisit.
Atas hal tersebut, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi menyambut positif. Ia menilai pemerintah memang harus turun tangan secara total dalam menjembatani kesenjangan tersebut “Tidak bisa diperlakukan dalam hubungan B2B antara PLN dengan pengembang lagi, karena ke depannya yang akan menikmati energi bersih adalah masyarakat. Bagaimana pun juga, kami paham dalam menentukan harga beli, PLN punya undang-undang sendiri,” dalam keterangannya, Jumat (15/11).
Baca Juga: Anak usaha J Resources berhasil lakukan rehabilitasi daerah aliran sungai Bakan
Menurut Prijandaru, sejak awal ikut berkontribusi dalam pengembangan industri EBT di tanah air, kendala pokok yang dihadapi para pengembang listrik panas bumi adalah masalah harga yang tidak pernah mendapatkan titik temu. Pasalnya, harga keekonomian proyek panas bumi yang dihitung para pengembang selalu ada di atas daya beli PLN yang diukur dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
“Masalahnya klise dari dulu. Bagaimanapun pengembang wajib untung dan mendapat margin dari harga proyek. Sementara PLN untuk menentukan harga juga punya undang-undang sendiri dan mereka juga diwajibkan mendapat untung dari pemerintah,” ujarnya.
Senada, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma juga mendukung peninjauan kembali (PK) pengaturan pembelian tenaga listrik dari EBT yang telah ditetapkan pemerintah paling tinggi 85% dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat. Selain itu, ia juga mendukung pemberlakukan sistem tarif tetap, bukan negosiasi seperti yang selama ini berlaku dan dinilai memberatkan PLN.
“Masalah harga merupakan salah satu tantangan pengembangan EBT yang harus kita pecahkan. Penetapan skema 85% dari BPP sangat tidak fair, dan kedua, dengan pola negosiasi, kita tidak tahu kapan itu bisa terjadi. Jadi kami maklum kalau PLN tidak mau dengan kedua pola tersebut,” paparnya.
Surya juga memberikan apresiasi atas dukungan DPR Komisi VII yang telah menyatakan akan konsisten melakukan review terhadap regulasi-regulasi yang ditetapkan pemerintah, demi mendukung lahirnya RUU Energi Terbarukan yang telah masuk Prolegnas tahun 2019. “Hal itu merupakan dukungan terhadap pengembangan energi terbarukan dan telah menyerap aspirasi dari berbagai pihak,” ucapnya.
Baca Juga: Selamatkan Rp 892 triliun investasi, Pokja IV menyebut sektor ESDM paling rumit
Dalam hal ini, ia berharap pemerintah konsisten untuk tidak mengubah-ubah regulasi terus, karena akan menciptakan ketidakpastian di bidang hukum dan bisnis.
Surya menyatakan, sejauh ini METI sebagai wadah bersatunya para pelaku industri EBT konsisten mendukung program pengembangan dan percepatan EBT menuju target 23 persen di tahun 2025. “Ini kan bagian dari target transisi, karena seluruh dunia sedang menuju pengalihan energi rendah karbon. Kalau target itu tidak segera dilaksanakan, kita bisa langsung kolaps,” ujarnya.
Prijandaru memberikan pernyataan serupa. Energi panas bumi, menurutnya sangat seksi sehingga sebenarnya banyak pengusaha, baik pemain besar maupun yang masih baru, tertarik untuk mengelola sumber energi ini.