kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha mapan eks kuli pelabuhan


Minggu, 21 Juli 2013 / 09:45 WIB
ILUSTRASI. Icon terbaru Google Chrome


Sumber: Kontan 20/7/2013 | Editor: Havid Vebri

Bagi sebagian besar orang nama Oesman Sapta Odang familier di telinga. Pria kelahiran Sukadana, Kalimantan Barat, 18 Agustus 1950 ini kesohor sebagai pengusaha.

Di bawah naungan OSO Group, kini bisnisnya menggurita mulai dari pertambangan, perkebunan, transportasi, properti, percetakan dan lain-lain. Bagi Oesman, bisnis tidak ada habisnya. Setiap hari ada saja bisnis baru yang coba digelutinya.

Seperti saat KONTAN menyambanginya, Selasa (9/7) di kantornya, The City Tower, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, ia punya kesibukan baru. Yakni, bisnis media cetak bernama tabloid Suara Pemred.  

Peluncuran tabloid ini berbarengan dengan jamuan makan malam Pertemuan Puncak Pemimpin Redaksi se-Indonesia di The Stones, Kuta Bali, sekitar Juni lalu. Penerbitannya juga sempat memicu pro-kontra.  

Pria 62 tahun ini lantas menceritakan perjalanan hidupnya sejak kecil, termasuk awal mula merintis bisnis dari nol, hingga sekarang. Oesman lahir dari pasangan Odang (ayah) asal Palopo, Sulawesi Selatan dan Asnah Hamid (ibu) asal Sulit Air, Solok, Sumatera Barat. Oesman sudah ditinggalkan ayahnya sejak masih berusia delapan tahun.

Sejak kecil ia diasuh sendiri oleh ibunya. Guna memenuhi kebutuhan hidup, sang ibu mengandalkan penghasilan dari usaha menjahit pakaian.  "Ibu saya membesarkan saya dengan penuh kasih sayang," kata Oesman kepada KONTAN.

Tidak mau berpangku tangan dan ingin membahagiakan ibunya, saat berumur 14 tahun, Oesman kecil memulai berdagang rokok di pelabuhan Pontianak selepas sekolah. Panas hujan saat itu sudah menjadi hal biasa yang menemani kesehariannya.

Meski sudah banting tulang peras keringat, tetap saja  penghasilannya tidak mencukupi. Soalnya, banyak kuli-kuli pelabuhan yang mengutang ke Oesman. Ia sendiri menjual rokok secara "ketengan" kepada para buruh kapal di pelabuhan tersebut. "Ketika saya tagih kepada mereka, eh malah saya yang ditempeleng," cerita mantan Wakil Ketua MPR itu.

Akhirnya, umur 14 tahun dia berhenti berjualan rokok dan beralih sebagai kuli panggul di pelabuhan. Memikul karet dari gudang ke kapal seberat 50 kilogram (kg), ia lakukan setiap hari sepulang sekolah.

Saat menjadi buruh pikul itu Oesman baru dapat membantu perekonomian keluarganya. Sedikit-sedikit ia bisa membantu orangtuanya dan membeli baju sendiri.

Dari situ, ia pun semakin semangat mencari uang sendiri. Semangat itu juga yang menumbuhkan jiwa bisnis di dalam dirinya. Seiring berjalannya waktu, Oesman makin kaya dengan pengalaman hidup. Di dukung usia yang makin matang, ia mencoba mencari uang dengan berdagang.

Dari jualan kecil-kecilan, Oesman merambah perdagangan dalam skala lumayan besar. Dari Kalimantan, ia membawa kelapa dan jahe untuk dijual ke Jakarta.  Sementara dari Jakarta ke Kalimantan, ia membawa sayuran segar, seperti kol, bawang merah, kentang, sawi dan cabai.

Pengalaman berdagang itu makin membentuk jiwa wirausaha di dalam dirinya. Ia pun makin jeli menangkap peluang bisnis. Saat usianya masih 22 tahun, Oesman terjun menjadi seorang kontraktor rumah. Dari situ, bisnisnya berkembang hingga merambah jasa kontraktor jalan, jembatan, dan pelabuhan.

Ekspansi usaha yang dilakukan Oesman terus berlanjut, hingga seperti saat ini. Baginya, semakin ekspansif semakin menarik dan semakin banyak pertarungan. Itu juga yang membuatnya tak berhenti mengembangkan usaha. Ke depan, ia mengaku orientasi bisnisnya cenderung pada perminyakan, pertambangan dan properti.

Di sektor pertambangan, bisnis andalannya adalah produksi granit. Ia menyatakan, PT Karimun Granite miliknya merupakan salah satu produsen granit terbesar di Asia Pasifik. Cadangan depositnya diklaim mencapai sekitar 3,2 miliar ton.

Sementara produksi Karimun Granite sendiri masih di kisaran 8 juta ton per tahun. Maka itu, tahun depan, ia berencana menggenjot produksi hingga dua kali lipat menjadi sekitar 16 juta ton per tahun. "Kami bisa yang terbesar didunia," klaim Oesman.

Ia juga punya angan-angan dan mimpi besar lainnya. Dalam wilayah konsesi granit, dia berangan-angan membangun tempat penyimpanan minyak dan refinery. Luasnya diperkirakan mencapai 400 hektare. Meski belum dapat memastikan kapan realisasinya, diperkirakan investasi yang dibutuhkan mencapai US$ 4 miliar.

Selain mengembangkan usaha di dalam negeri, OSO Group juga berencana mengepakkan sayap bisnisnya di Afrika, tepatnya Somalia. Bisnis yang dirambah seputar eksplorasi minyak dan batubara.  "Kami sudah mendapat izin sebulan lalu dengan konsesi yang cukup besar, tetapi belum kami mulai karena negara itu sedang bergejolak," ujar Oesman.

Generasi kedua

Kendati masih menyimpan segudang rencana bisnis besar, kendali perusahaan maupun bisnis sejatinya sudah bukan di tangan Oesman lagi. Sejak awal tahun kemarin, ia mempercayakan kendali perusahaannya kepada Tanri Abeng sebagai Chairman OSO Group dan George Toisutta sebagai Komisaris Utama.

Sementara anak keduanya, Raja Sapta Oktohari dipercaya sebagai Direktur Utama OSO Group. Ditemui KONTAN, di sela-sela acara buka puasa bersama belum lama ini, pria yang akrab disapa Okto ini mengaku tidak diangkat begitu saja menjadi orang nomor satu di OSO Group. 

Menurut Okto, dirinya sudah mulai dikenalkan dengan perusahaan ayahnya itu pada tahun 1993, ketika masih SMA. "Waktu itu saya dikasih jabatan manager, tapi cuma biar keren saja. Kerjaannya disuruh-suruh ini itu," ujarnya tertawa.

Okto tahu, saat itu sang ayah ingin mengenalkan dirinya dengan perusahaan sejak dini. Selepas SMA, seperti anak pengusaha pada umumnya, ia meneruskan pendidikan ke Amerika Serikat. Menghabiskan waktu empat tahun di Amerika, Okto juga mencari pengalaman dengan bekerja di sebuah perusahaan di sana.

Begitu kembali ke Indonesia, Okto tidak lekas masuk ke OSO Grup. Pria yang hobi bersepeda ini memutuskan membuka usaha sendiri.
Tanpa embel-embel nama besar sang ayah, ia membuka usaha di Tanah Abang. "Sepulang dari kuliah saya jualan, keluar masuk pabrik mencari stok jualan waktu itu," kenang Okto.

Kendati anak pengusaha, ia mengaku tidak gengsi menjalaninya. Okto mengaku ingin merasakan berjuang dari bawah tanpa mendompleng nama orang tuanya. "Sampai sekarang masih banyak teman saya di Blok E (Tanah Abang)," ujarnya.

Setelah berkarier sendiri selama dua tahun, pada tahun 2001 Okto kembali masuk ke OSO Grup. Saat itu, ia ditempatkan di Makassar, Sulawesi Selatan. Selama lebih dari setahun, ia ditugasi mencari beras dan memasoknya ke Pontianak, Kalimantan Barat.

Tahun 2003, ia mulai masuk ke jajaran direksi di Makassar. Sekitar tahun 2007 ia baru bergabung di jajaran holding company. Saat masuk holding company Okto mengaku mendapat bimbingan langsung dari ayahnya.

"Awalnya sih learning by doing, kan orang tua saya masih aktif jadi mentoring langsung dari bapak," kata Okto yang juga menjabat Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×