Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah menunda implementasi agen inspeksi (regulated agent) selama enam bulan.
Waktu tersebut diperlukan untuk membenahi surat keputusan (SK) 255/4/2011 yang dinilai masih membebani kelancaran distribusi barang dan menurunkan daya saing. "Penundaan enam bulan itu cukup bagi dunia usaha dan pemerintah untuk menyempurnakan revisi agar berikan kelancaran pemeriksaan kargo dan pos," tutur Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto, usai jumpa pers tentang implementasi agen inspeksi, Kamis (25/8).
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan bakal menerapkan kembali kebijakan agen inspeksi pada 3 September 2011. Jadwal itu merupakan penjadwalan ulang setelah implementasi Juli 2011 menimbulkan kisruh di lapangan.
Pemerintah sempat menunda selama sekitar dua bulan untuk mengkaji ulang kebijakan itu. Setelah pembahasan ulang akhirnya Kementerian Perhubungan menetapkan 3 September 2011 sebagai penerapan selanjutnya.
Namun, dunia usaha menyatakan masih belum siap untuk menerima kebijakan pemerintah itu lantaran masih ada pasal dalam aturan itu yang membatasi penambahan agen inspeksi. Padahal, jumlah agen inspeksi yang banyak dapat memberikan jasa pemeriksaan lancar.
Aturan SK 255/4/2011 pasal 4 ayat (4) hanya mengizinkan badan usaha baru yang kegiatannya hanya melakukan pemeriksaan keamanan kargo dan pos. Akibatnya, jumlah agen inspeksi yang sedikit tidak memberikan pilihan bagi pengusaha untuk menggunakan jasa pemeriksaan. Padahal agen inspeksi itu menerapkan tarif minimal 10 kali lipat dari tarif saat ini. Tarif pemeriksaan saat ini sebesar Rp60 per kilogram (kg).
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Fiskal Haryadi B. Sukamdani menambahkan, aturan yang mengusung isu keselamatan penerbangan justru mengherankan para pengusaha karena SK 255/4/2011 tidak mengatur urusan tarif secara khusus.
Aturan itu malah hanya membebaskan penerapan tarif secara bisnis sehingga setiap agen inspeksi bisa menetapkan tarifnya sendiri. "Seharusnya tidak komersial, tidak business to business (B2B), jangan terserah agen inspeksi," tuturnya.
Selain itu, dia menilai, aturan itu belum merefleksikan koordinasi dengan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Pertanian untuk urusan karantina barang, Kementerian Kesehatan untuk urusan produk kesehatan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Tarif agen inspeksi
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan agar tarif agen inspeksi (regulated agent) tak melebihi Rp 100 per kilogram (kg). Seharusnya kenaikan tarif pemeriksaan ditentukan berdasarkan kenaikan inflasi.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perhubungan Udara M. Kadrial mengakui, tarif pemeriksaan yang berlaku saat ini sebesar Rp 60 per kilogram (kg) belum pernah mengalami kenaikan. Namun, penetapan tarif minimal yang berlaku saat ini sebesar Rp 600 per kg dianggap terlalu memberatkan pengusaha.
Apabila tarif itu tetap diberlakukan maka nantinya akan mengakibatkan peningkatan biaya pengiriman bagi konsumen akhir. "Kalau kita kena (tarif pemeriksaan) Rp 600 per kilo (kg) maka kita kenakan jumlah yang sama pada konsumen," ungkapnya.
Tarif pemeriksaan yang saat ini berlaku sebesar Rp 600 per kg itu dinilai terlalu tinggi bagi dunia usaha. Bahkan, jauh lebih tinggi ketimbang Singapura yang menetapkan Rp 140 per kg dan Thailand yang membebaskan biaya pemeriksaan. "Kalau mau ada biaya harusnya sebatas cost recovery saja," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Fiskal Haryadi B. Sukamdani. Dia menilai, seharusnya penetapan tarif tidak membebaskannya berdasarkan kesepakatan bisnis. Apalagi isu keselamatan penerbangan seharusnya tidak dibawa menjadi domain komersial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News