Reporter: Adisti Dini Indreswari | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) kembali mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menuntut hilirisasi rumput laut, tetapi belum memihak para pelaku mulai dari hulu hingga hilir.
Menurut Ketua ARLI Safari Azis, untuk melakukan hilirisasi pelaku usaha masih menemui berbagai hambatan seperti teknologi yang belum mendukung, sumber daya manusia yang belum memadai, bahan kimia untuk mengolah yang masih harus impor, sistem logistik yang belum begitu baik, sampai peraturan mengenai limbah yang belum jelas.
Saat ini anggota ARLI tengah dibuat pusing oleh aturan yang berkaitan dengan limbah industri ini. "Beberapa dari anggota ARLI bahkan harus berurusan dengan hukum," ujar Safari melalui rilisnya, Senin (26/10).
Safari menilai hilirisasi rumput laut masih sulit untuk dilakukan. Alasannya, pemahaman pemerintah terhadap hulu hilir rumput laut masih minim.
ARLI juga membandingkan kondisi di Amerika Serikat (AS). "AS saja penghasil kedelai dan Indonesia mengimpornya dalam jumlah yang besar. Tetapi pemerintahnya tidak melakukan pelarangan ekspor kedelai hanya karena tidak diolah terlebih dahulu untuk memperoleh nilai tambah," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menargetkan tidak ada lagi ekspor rumput laut mentah pada 2020.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menyiapkan anggaran Rp 330 miliar melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya serta Rp 216 miliar melalui Direktorat Jenderal Peningkatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan. Anggaran tersebut antara lain untuk membangun delapan gudang dan sepuluh pabrik pengolahan rumput laut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News