Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Semakin banyak saja perusahaan non pertambangan di Indonesia yang merambah bisnis pertambangan, baik mineral dan batubara. Alih usaha ini diduga karena banyak aksi jual beli izin usaha pertambangan (IUP) yang sejatinya terlarang. Mereka ini hanya sebagai pedagang bukan penambang. Mereka ini hanya ingin mengeduk perut bumi tanpa mau repot eksplorasi.
Prinsip-prinsip pertambangan rupanya sudah dilupakan para pengusaha baru di bidang pertambangan. Mereka tidak menjalankan proses pertambangan, seperti melakukan eksplorasi, produksi, sampai akhirnya reklamasi tambang paska penambangan.
Lihat saja, hampir semua perusahaan tambang yang kini berjaya tidak melakukan proses eksplorasi atau menemukan sendiri cadangan mineral atau batubara di sebuah wilayah. Mereka hanya membeli saham sebuah perusahaan yang sebelumnya sudah menemukan cadangan barang tambang, baik itu emas, mineral atau batubara.
Ambil contoh pembelian saham PT Adaro Indonesia oleh Edwin Soeryadjaya dan Teddy Thohir yang sebelumnya dimiliki Beckkett Pte Ltd milik konglomerat Sukanto Tanoto. Ditaksir cadangan batubara Adaro mencapai 10,3 miliar ton.
Kemudian ada PT Arutmin Indonesia yang memiliki enam konsesi tambang dengan cadangan batubara 557 juta ton dan kini dimiliki Grup Bakrie. Sebenarnya tahun 1981 Arutmin itu dimiliki Atlantic Rischfield Indonesia Coal Incorporated dan Utah Exploration Incorporated.
Direktur Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Dede I Suhendar membenarkan, saat ini banyak perusahaan pertambangan tidak berbasis pada pertambangan, baik lokal maupun investor asing. Padahal, pertambangan memerlukan eksplorasi awal untuk menentukan keberadaan cebakan (deposit) suatu mineral.
Kata dia, data eksplorasi inilah yang seharusnya menjadi dasar untuk sebuah perusahaan dalam melakukan usaha. "Tapi perusahaan sekarang tidak lagi melihat hal tersebut, jadi hanya izin saja yang dimasalahkan, bukan ada atau tidak ada isinya. Jadi hanya jual beli izin saja," ungkap dia.
Pada dasarnya menurut Dede, pada saat perusahaan menyampaikan permohonan izin pertambangan, harus juga diinformasikan pengalaman dalam bidang pertambangannya untuk dievaluasi termasuk harus memiliki tenaga teknis yang berpengalaman.
Sebuah perusahaan pertambangan, menurut Dede, mesti memiliki kualifikasi pertambangan dengan minimal masa kerja. "Sekarang ini, karena hal itu tidak jadi bahan pertimbangan lagi, maka penambangan kini menjadi tidak lebih daripada usaha penggalian saja," kata dia.
Itulah sebabnya, pemerintah sedang melakukan penataan dari aspek administrasi, teknis, dan finansial. Nantinya, kata Dede, setiap perusahaan tambang wajib memiliki kepala teknik tambang. Dia inilah yang bertanggungjawab terhadap kegiatan teknis pertambangan. Di lain pihak ada pengawas pertambangan yang dilakukan aparat pemerintah daerah dengan kualifikasi inspektur tambang.
Tony Wenas, Wakil Ketua Indonesia Mining Association (IMA) mengungkapkan, perusahaaan pertambangan yang berbasis pada penambangan berbeda dengan perusahaan pertambangan yang berbasis pada perdagangan. "Saat ini banyak sekali perusahaan pertambangan di Indonesia yang hanya jadi pedagang. Mereka tidak mau melakukan proses eksplorasi sampai reklamasi paska tambang," kata dia.
Untuk melakukan eksplorasi sampai menemukan cadangan mineral membutuhkan biaya besar. Namun proses ini sudah seharusnya dilakukan perusahaan pertambangan. "Intrepid saja untuk menemukan cadangan emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, mengeluarkan dana US$ 102,7 juta," kata Tony yang juga Executive General Manager Intrepid Mines Limited-Indonesia itu.
Lebih parah lagi, kata Tony, perusahaan tambang yang hanya jadi pedagang tak lagi memperhatikan reklamasi pasca tambang. "Sekarang ini imej perusahaan tambang di sini, jelek. Padahal yang jelek itu perusahaan tambang yang cuma mau berdagang saja," ungkap dia. (Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News