kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Perdebatan skema pengembangan, SKK Migas: Onshore LNG Masela lebih murah


Minggu, 12 Mei 2019 / 15:09 WIB
Perdebatan skema pengembangan, SKK Migas: Onshore LNG Masela lebih murah


Reporter: Filemon Agung | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Pelaksana kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan perkembangan terbaru dari rencana pengembangan Lapangan Abadi, Blok Masela yang dikelola Inpex Corporation.

Baru-baru ini, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan skema onshore Liquefied Natural Gas (LNG) lebih murah dari sisi keekonomian dan biaya produksi ketimbang skema floating atau offshore.

"Floating biayanya US$ 8,6 per barel oil equivalent (boe) sementara dari proposal Inpex untuk onshore itu US$ 6,2 per boe," ungkap Dwi di Kantor SKK Migas Jakarta.

Lebih jauh Dwi menyebut ada peningkatan kapasitas produksi dalam pengembangan ini. Semula, ketika direncanakan dengan skema floating kapasitasnya sekitar 7,5 metrik ton per tahun (mtpa) dengan perkiraan biaya mencapai US$ 17 miliar.

Saat ini pemerintah merencanakan peningkatan kapasitas produksi menjadi 9,5 mtpa ditambah 150 juta kaki kubik gas bumi per hari (mmscfd) untuk gas pipa.

Selain pertimbangan lebih murah secara ekonomis, skema onshore dianggap mampu memberikan efek berganda (multiplier effect) melalui pengerjaan konstruksi, fabrikasi dan aspek ekonomi lainnya.

Dwi menambahkan masih adanya gap investasi antara pemerintah dan Inpex Corporation cukup menghambat proses pengembangan Blok Masela.

"Masih ada perbedaan biaya pengembangan, namun kita akan lihat alternatif lain," jelas Dwi. 

Adapun alternatif lain yang dimaksud yakni peninjauan kembali saat proyek telah berjalan, pasca Engineering, Procurement and Construction (EPC) tender maupun saat proyek telah rampung. Dwi menghrapkan proyek ini bisa segera dimulai.

Selain perbedaan biaya pengembangan, pemerintah dan Inpex masih memiliki perbedaan pandangan terkait waktu pembebasan lahan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Inpex dalam proposalnya memastikan butuh empat tahun untuk menyelesaikan proses pembebasan lahan dan AMDAL. "Menurut kami dua tahun cukup, SKK mendorong paling lambat onstream pada 2026," ujar Dwi.

Demi merealisasikan hal tersebut, pemerintah melalui SKK Migas mengambil inisiatif bertemu dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang hingga gubernur Maluku.

Langkah ini sejalan dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 tentang Pembebasan Lahan untuk kepentingan umum.

Dwi menambahkan, proses Front End Engineering Design (FEED) akan dilakukan pasca revisi Plan of Development (PoD).

Sementara itu Senior Specialist Media Relations Inpex Corporation Moch Kurniawan ketika dikonfirmasi Kontan.co.id belum dapat memberikan komentar lebih jauh terkait hal tersebut. "Kami masih terus berdiskusi dengan SKK Migas," tukas Iwan, Minggu (12/5).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×