kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45997,15   3,55   0.36%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perhapi: Belasan Ribu Permohonan AMDAL Masih Antri di KLHK


Kamis, 18 Agustus 2022 / 13:40 WIB
Perhapi: Belasan Ribu Permohonan AMDAL Masih Antri di KLHK
ILUSTRASI. Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli, saat berkunjung ke Redaksi KONTAN, Jakarta (16/10). (KONTAN/Panji Indra)


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengkritisi soal hambatan yang dirasakan pelaku usaha khususnya dalam ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) saat ini. Setelah adanya perubahan kewenangan AMDAL untuk mineral yang kini seluruhnya ditarik di pusat menyebabkan terjadinya penumpukan permohonan AMDAL di Kementerian KLHK.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Rizal Kasli menjelaskan ide dan tujuan awal dari disahkannya Undang-undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah no 22 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Perlindungan Lingkungan, salah satunya adalah untuk memudahkan dan membuka seluas mungkin kesempatan kerja dan usaha, melalui penyederhanaan sejumlah regulasi dan perizinan di Indonesia, sehingga akan mempercepat proses perizinan berusaha.

“Namun faktanya, alih-alih mempermudah dan mempersingkat proses perizinan, justru sebaliknya, banyak kegiatan usaha di Indonesia saat ini mengalami hambatan karena implementasi dari aturan turunan UU Cipta Kerja,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (18/8). 

Rizal mengakui, salah satu faktor penghambat tersebut, terkait mekanisme persetujuan Kelayakan Lingkungan AMDAL dan Persetujuan Lingkungan yang harus dimulai dengan persetujuan teknis, di mana perubahan kewenangan AMDAL untuk mineral yang kini seluruhnya ditarik di pusat. 

Baca Juga: Indonesian Mining Association Keluhkan Pengurusan AMDAL yang Dinilai Makan Waktu

Jika mengacu pada UU sebelumnya, PP 27/2012  tentang izin Lingkungan di mana kewenangan pengesahan AMDAL dan Izin Lingkungan berada sesuai kewenanangannya yakni ke Menteri, Gubernur dan Bupati sehingga ada penyebaran kewenangan yang cukup merata, namun ketentuan tersebut kini tidak berlaku. Kewenangan tersebut kini sepenuhnya menjadi kewenangan Kementerian KLHK.

Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan permohonan AMDAL di Kementerian KLHK. Informasi yang diperoleh Perhapi, jumlah antrian AMDAL telah mencapai sekitar belasan ribu permohonan. 

“Hanya untuk memperoleh surat arahan dari Kementerian KLHK atas rencana kegiatan, perusahaan harus menunggu waktu cukup lama. Beberapa informasi dari sejumlah perusahaan, ada yang hingga 4 bulan namun belum memperoleh jawaban. Mereka harus datang ke KLHK untuk mempertanyakan jawabannya,” kata Rizal. 

Selain itu, mekanisme penyatuan Perizinan Lingkungan menjadi persetujuan teknis ke dalam dokumen AMDAL, juga menyebabkan proses penyusunan AMDAL menjadi lebih lama, lebih rumit dan biaya yang ditanggung pemrakarsa menjadi lebih mahal.

Dalam ketentuan terbaru, pemrakarsa kegiatan diharuskan untuk menyelesaikan terlebih dahulu dokumen teknis untuk memperoleh Persetujuan Teknis pengolahan limbah cair, emisi udara, dan limbah B3. Persetujuan tersebut yang selanjutnya diintegrasikan dalam dokumen AMDAL. 

Sedari awal, dokumen teknis tersebut sudah harus mencantumkan secara rinci dan detail jenis, volume, karakteristik, lokasi dan bentuk instalasi atau  fasilitas pengolahan, metode pengukuran & pemantauan serta pelaporannya. 

Dengan detail data teknis yang dibutuhkan tersebut, maka pemrakarsa harus melakukan serangkaian kegiatan awal, berupa kajian, uji laboratorium, serta penyiapan desain yang tidak saja butuh waktu lama, namun juga biaya yang besar. Selain itu, fasilitas tersebut harus dibangun dulu, agar memperoleh SLO (Sertifkat Layak Operasi). 

“Sepanjang dokumen teknis tersebut belum disampaikan serta belum mendapat persetujuan teknis, maka AMDAL pun tidak akan bisa diproses di KLHK,” paparnya. 

Baca Juga: Pimpin Upacara HUT RI ke-77 di Papua, Ini Pesan Bahlil Lahadalia

Faktanya, dia bilang, dalam pelaksanaan selama konstruksi serta tahap operasi, karena penyesuaian teknis, kerap terjadi perubahan atas mekanisme dan fasilitas pengolahan limbah cair, emisi udara dan limbah B3 tersebut. Hal ini sesuatu yang lazim dalam kegiatan operasi. 

“Begitu terjadi perubahan tersebut, maka persetujuan teknis yang telah diperoleh sebelumnya, harus diperbaiki lagi yang berujung pada perubahan dokumen AMDAL,” kata Rizal.  

Selain lebih lama dan rumit, biaya penyusunan AMDAL yang ditanggung pemrakarsa juga berimbas lebih mahal. Selain karena harus berkoordinasi dan melibatkan jajaran Pemerintahan dari Pusat, Provinsi dan Kabupaten, serta masyarakat yang terdampak, persyaratan penyiapan dokumen untuk Persetujuan Teknis menjadi beban biaya yang cukup besar. 

“Biaya penyusunan AMDAL serta seluruh persetujuan teknis, lebih mahal 2 hingga 4 kali lipat dibandingkan sebelumnya,” ujarnya. 

Hal lain yang Perhapi kritisi adalah terkait kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten yang perannya menjadi sangat kecil dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Padahal, dengan rentang jarak kendali dan geografi yang sangat luas, serta karakteristik masing-masing daerah yang berbeda-beda pula, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten justru yang paling mengusai dan memahami permasalahan lingkungan di daerah. 

Karena itu Perhapi menilai, bahwa masalah AMDAL ini sudah dalam kondisi darurat nasional. Pemerintah perlu segera mencarikan solusi, agar proses AMDAL yang lama dan rumit, dapat bisa diselesaikan sehingga investasi dan kegiatan usaha dapat bergerak lebih cepat, dengan tanpa mengabaikan kondisi dan daya dukung lingkungan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×