kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Perkembangan EBT di Indonesia Tumbuh Lambat, Ini Masalahnya


Kamis, 19 Mei 2022 / 17:59 WIB
Perkembangan EBT di Indonesia Tumbuh Lambat, Ini Masalahnya
ILUSTRASI. Teknisi melakukan pemeriksaan rutin pada panel surya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa melihat bahwa perkembangan energi terbarukan Indonesia tumbuh lambat. Hal ini dipengaruhi oleh sejumlah tantangan, salah satunya  kebijakan. 

“Jika dibandingkan periode 2005-2014, pada periode 2015-2021 laju pertumbuhan kapasitas lebih rendah,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (19/5). 

Pada 2021, pengembangan energi terbarukan di Indonesia tidak on track dengan target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Menurut data dari Kementerian ESDM, kapasitas pembangkit listrik EBT pada 2021 mencapai 11.157 megawatt (MW) atau bertambah sekitar 650 MW dibandingkan dengan kapasitas pembangkit EBT di 2020 yang sebesar 10.502 MW. Pada 2022, Kementerian ESDM menargetkan kapasitas pembangkit listrik EBT menjadi 11.791 MW atau hanya bertambah 434 MW dari kapasitas di 2021. 

Baca Juga: Pasar EBT Meningkat, Semacom Integrated (SEMA) Siap Gali Potensi Bisnis

Sedangkan menurut perhitungan IESR, untuk mencapai target Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di 2025 kapasitas pembangkit energi terbarukan diperkirakan harus minimal mencapai 24.000 MW atau sekitar 2 GW hingga 3 GW penambahan kapasitas energi terbarukan setiap tahunnya. 

Adapun agar sesuai dengan Persetujuan Paris, dibutuhkan setidaknya 11 GW hingga 13 GW pembangkit energi terbarukan untuk  mendekarbonisasi sistem energi di Indonesia yang mencakup sektor pembangkitan listrik, transportasi dan industri pada tahun 2050. 

Selain itu, pemanfaatan energi surya pun terbilang tidak signifikan, hanya meningkat 18 MW yang didominasi PLTS atap. Bandingkan dengan kebutuhan 10 GW sampai 11 GW PLTS atap tiap tahunnya untuk mendorong bebas emisi pada 2045 di sektor ketenagalistrikan. 

Menurut Fabby, lambatnya pertumbuhan kapasitas energi terbarukan dipengaruhi beberapa tantangan. Pertama, ketergantungan Indonesia pada energi fosil khususnya batubara di masa lampau yang membuat sistem energi terjebak dengan batubara. 

Fabby mencontohkan, di sektor kelistrikan, listrik dari PLTU dipersepsikan murah dan harga energi terbarukan disuruh bersaing dengan harga PLTU. Padahal batubara untuk PLTU mendapatkan perlakuan harga khusus alias subsidi. “Ini membuat energi terbarukan sukar berkembang,” ujar dia. 

Kedua, Indonesia dengan PLN sebagai off-taker utama. Fabby menuturkan, pengembangan energi terbarukan tergantung pada kemauan dan kesiapan PLN untuk membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan. 

Tantangan ketiga, keterbatasan opsi pembiayaan untuk energi terbarukan. Keempat, kebijakan dan regulasi harga energi, khususnya Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 yang membuat proyek energi terbarukan tidak bankabel

IESR memandang PLTS atap merupakan peluang untuk memaksimalkan kontribusi masyarakat dan badan usaha untuk ikut berinvestasi dalam proses dekarbonisasi. Namun, saat ini pengembangan PLTS terkendala karena PLN masih enggan melaksanakan Permen ESDM No 26 Tahun 2021. 

Baca Juga: Genjot Bisnis Pembangkit EBT dan Smelter, Begini Agenda Bisnis Bukaka (BUKK)

“Salah satu pangkal sebabnya adalah peraturan mengenai pemberian kompensasi dari program PLTS Atap 3,6 GW yang seharusnya dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan belum juga terbit,” ujarnya. 

Dalam kondisi PLN mengalami over capacity dan ketidakjelasan kompensasi tersebut, lanjut Fabby, membuat pelaksanaan Permen No. 26 Tahun 2021 tidak jelas dan menciptakan ketidakpastian bagi investor, pengembang, pelaku usaha dan konsumen listrik sendiri. Maka itu, dia berpesan kepada pemerintah untuk segera mereformasi kebijakan dan aturan yang menghambat. 

Tidak hanya itu, Fabby juga meminta pemerintah  untuk turut melibatkan masyarakat luas dalam pemanfaatan  energi terbarukan dengan diberikan insentif. “Segera revisi Permen ESDM No. 50/2017 dengan aturan yang lebih ramah terhadap Energi terbarukan, naikan tarif listrik dan segera berlakukan pajak karbon untuk energi fossil,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×