kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Permintaan Minyak Bunga Matahari Akan Naik Jika Perang Rusia-Ukraina Berakhir


Minggu, 06 November 2022 / 09:32 WIB
Permintaan Minyak Bunga Matahari Akan Naik Jika Perang Rusia-Ukraina Berakhir
ILUSTRASI. Akan ada serbuan minyak biji bunga matahari apabila perang yang saat ini terjadi antara Rusia dan Ukraina usai.


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Permintaan minyak biji bunga matahari diprediksi akan makin meningkat. Pengamat minyak sawit dan Direktur di Godrej International Dorab Mistry mengatakan, akan ada serbuan minyak biji bunga matahari apabila perang yang saat ini terjadi antara Rusia dan Ukraina usai.

Usai perang, permintaan terhadap sejumlah besar minyak biji bunga matahari akan meningkat. Begitu juga produksi rapeseed dan minyak canola pada tahun 2022, mengalami pemulihan besar.

Minyak canola akan memenuhi pasar domestik Amerika. Sedangkan produksi biji mustard di India akan mencatat rekor baru pada tahun 2022-2023. Di sisi lain, Brasil diperkirakan akan panen lebih dari 150 juta ton minyak kedelai. Hal ini dapat menjadi ancaman bagi minyak sawit Indonesia.

"Kelapa sawit sangat kompetitif saat ini tetapi tidak begitu kompetitif di tahun 2023 jika kita memiliki tanaman kedelai besar-besaran di Amerika Selatan," kata Dorab dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2022 di Nusa Dua, Bali, Jumat (4/11).

Baca Juga: Gapki Prediksi Harga Kelapa Sawit Berpotensi Terkoreksi Tahun Depan

Dengan potensi keadaan tersebut, Indonesia diwanti-wanti harus memiliki skenario lain jika perang Ukraina telah usai.

"Indonesia harus tetap kompetitif untuk ekspor sawit. Indonesia juga tidak boleh berpuas diri. Jika perang Ukraina berakhir, sejumlah besar minyak matahari akan keluar," ujarnya.

Ia mengapresiasi pemerintah Indonesia yang menangguhkan pungutan ekspor atau menerapkan 0% untuk pungutan ekspor CPO dan turunannya hingga 31 Desember 2022.

Sebelumnya, Dorab menyebut, Indonesia sempat mengambil kesalahan besar dengan melarang ekspor minyak sawit untuk sementara. Menurutnya, Pemerintah Indonesia seharusnya tidak melakukan larangan ekspor minyak sawit.

Pengamat minyak sawit dan Direktur di Godrej International Dorab Mistry (kiri)

Ke depan, ia menyarankan agar tingkat pungutan ekspor harus dipertahankan pada tarif rendah saat ini, selain itu domestic market obligation (DMO) bila perlu harus dihapuskan.

"[Pemerintah Indonesia] perlu mempertahankan pajak ekspor pada taraf yang rendah dan kebijakan DMO harus dihapuskan," imbuhnya.

Adapun ke depan harga crude palm oil (CPO) diprediksi masih akan berfluktuasi, hanya saja ketajaman fluktuasinya bergantung pada bagaimana regulasi yang diterbitkan.

Dorab memperkirakan, kontrak harga CPO di Bursa Berjangka minyak sawit di Bursa Malaysia dari saat ini hingga Maret di 2023 akan diperdagangkan antara RM 4.500 dan RM 3.500 per ton.

"Setelah April dan Ramadhan kita perlu menilai kembali prospek harga. Kecuali minyak mentah Brent turun ke US$70 per barel dan Ringgit membaik, saya tidak lagi berharap harga Bursa Berjangka lebih tinggi dari RM 2.500 per ton," ujarnya.

Sementara itu, Chairman, LMC International Ltd James Fry memperkirakan, pada tiga bulan pertama 2023 atau Januari hingga Maret harga soybean, sawit, rapeseed, sunflower dan brent masih akan menguat sebagai dampak permintaan yang tinggi di awal tahun.

Hanya saja, jika dibandingkan soyben, rapeseed, sunflower, harga sawit masih berada dibawah minyak nabati lain dan mengalami fuktuasi tajam dalam waktu yang cukup panjang.

Menurut James, gejolak langsung di pasar setelah invasi Rusia ke Ukraina tidak akan berlangsung lama setidaknya dalam mempengaruhi harga minyak mentah dan minyak nabati.

“Ini tidak diragukan lagi, bahkan setelah reaksi harga baru-baru ini, harga minyak nabati telah menetap jauh di atas level minyak mentah Brent," kata James.

Di Asia Tenggara, pungutan ekspor membuat CPO lokal jauh lebih murah daripada minyak gas. Biodiesel di Indonesia dan Malaysia saat ini sangat kompetitif dengan gasoil, dimana Palm Oil Gas Oil (POGO) negatif. James mengatakan, meski demikian, dua negara importir minyak terbesar, yakni India dan Cina, sedang bergerak untuk mencari sumber minyak nabati lain.

Baca Juga: Gapki: Perang Rusia dan Ukraina Berdampak pada Pasokan Minyak Nabati Dunia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×