kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Permintaan tinggi, produksi jahe stagnan


Jumat, 13 Mei 2016 / 10:44 WIB
Permintaan tinggi, produksi jahe stagnan


Reporter: Adisti Dini Indreswari, Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Selama ratusan tahun, tanaman jahe Indonesia cukup tersohor di dunia. Seperti halnya lada dan cengkeh, jahe merupakan rempah-rempah unggulan yang cukup diminati di pasar ekspor.

Umumnya jahe diburu sebagai tanaman obat atau biofarmaka oleh pebisnis jamu tradisional atau industri farmasi. Tak hanya pasar lokal, pasar ekspor jahe pun terus menggeliat mengingat industri herbal secara global terus tumbuh. Ada tiga jenis jahe yang dihasilkan di Tanah Air, yakni jahe emprit, jahe gajah, dan jahe merah.

Hanya saja, permintaan yang besar ini tak diimbangi dengan kemampuan produksi petani untuk menghasilkan dalam jumlah banyak.

Produksi jahe untuk tahun 2016 ini diperkirakan stagnan diangka 150.000-170.000 ton atau sama seperti tahun lalu. Padahal, tren produksi jahe sejatinya mulai naik sejak tahun 2013 lalu, namun kembali menurun di tahun 2014 dan hingga kini relatif stabil.

Ketua Asosiasi Petani Jahe Organik (Astajo) Kabul Indarto bilang, permintaan jahe merah saat ini mencapai 4 ton per pekan, jahe emprit 10 ton per pekan, sedangkan jahe gajah bisa lebih dari 20 ton per pekan. Umumnya pasar ekspor lebih mengutamakan jahe gajah ketimbang jahe lainnya. "Permintaan jahe gajah sangat tinggi di Belanda sebagai bahan baku minuman," ujar Kabul kepada KONTAN, Rabu (11/5).

Selain dikonsumsi, ternyata Belanda adalah negara pengepul jahe gajah di Uni Eropa. Menurut Kabul, Belanda juga menjual lagi jahe gajah ini ke beberapa negara Eropa lainnya dengan harga tinggi.

Kabul menerangkan, peluang besar di pasar ekspor benua biru ini yang belum bisa dimaksimalkan petani. Selain produksi yang tak mencukupi, petani juga tak mampu menjual langsung ke Eropa karena pembeli di Eropa juga mensyaratkan kemasan khusus dan juga kualitas jahe yang baik. Alhasil, pasar ekspor jahe ke Eropa saat ini dipegang oleh China dan Thailand.

Jika jahe gajah diekspor, maka jahe emprit dan jahe merah justru menjadi penguasa di negeri sendiri. Kedua jenis jahe tersebut diserap oleh industri makanan dan minuman, jamu, dan farmasi sehingga hanya sedikit yang bisa diekspor.

Saat ini, harga jahe emprit Rp 5.000 per kilogram (kg), jahe merah Rp 25.000 per kg, sedangkan harga jahe gajah Rp 10.000 per kg di pasar ekspor. Padahal, harga pokok produksi (HPP) jahe hanya Rp 2.000 per kg. Biasanya jahe cocok ditanam di lahan lereng gunung dan bisa dipanen dua kali dalam setahun.

Agus Sulasto, petani jahe di Jawa Timur menambahkan petani jahe yang sudah terakses informasi umumnya tetap loyal menanam jahe karena mengetahui daya tarik komoditas ini.

Agus bilang saat ini rata-rata harga jahe mencapai US$ 400 per ton di pasar ekspor dan bisa melonjak hingga US$ 1.000 per ton jika Thailand dan China sebagai eksportir utama sedang mengalami gagal panen.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×