Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah kalangan mendesak pemerintah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaikan Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Pasalnya, beleid ini tidak memberikan kepastian hukum kepada petani kelapa sawit yang lahanya masuk dalam kawasan hutan. Padahal untuk bisa mendapatkan sertifikat, perkebunan petani kelapa sawit harus bebas dari sengketa.
Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk merevisi aturan tersebut. Surat yang dikirimkan Apkasindo tersebut telah dibalas pihak istana dan mengatakan telah melimpahkan persoalan tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Tapi sampai sekarang belum ada tindakan apa pun dari KLHL," ujar Rino, Kamis (6/9).
Pakar Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo menilai Perpres tersebut mendesak direvisi. Hal itu untuk menghindari kesewenang-wenangan pemerintah dalam menentukan kawasan hutan. Sebab menurutnya, KLHK masih belum memiliki dasar aturan yang jelas dalam menetukan kawasan hutan selama ini.
"KLHK masih melakukan klaim sepihak mana saja yang masuk dalam kawasan hutan. Tindakan itu dapat menimbulkan kerugian ekonomi masyarakat di daerah,"ujarnya.
Ia melanjutkan, dalam menentukan suatu kawasan masuk dalam kawasan hutan, pemerintah harus melakukan empat tahapan. Pertama, penunjukkan kawasan hutan, kedua penataan batas kawasan hutan, ketiga pemetaan batas kawasan hutan dan keempat penetapan kawasan hutan. "Nah dalam penataan batas kawasan itu seharusnya melibatkan masyarakat agar tidak terjadi konflik, tapi justru pemerintah belum melakukan itu, karena sampai sekarang konflik masih belum tuntas,"imbuhnya.
Ia menambahkan, keputusan sepihak KLHK menetapkan kawasan hutan menimbulkan persoalan baru. Sebab bila mengacu Undang-Undang yang berlaku, dalam pengukuhan suatu kawasan hutan, harus memerhatikan rencana tata ruang wilayah. Dimana dalam hal itu perlu koordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Tapi justru hal itu tidak dilakukan.
Pakar Hukum Kehutanan Sadino menambahkan, revisi terhadap perpres ini mendesak dilakukan karena dalam pasal 5 Prepres No.88/2017 itu menyebutkan lahan garapan hanya berupa sawah, ladang kebun campuran tambak. “Akibatnya, ketika pejabat di daerah menemukan perkebunan sawit masyarakat teridentifikasi masuk kawasan hutan, mereka tidak berani menyelesaikan persoalan tersebut dengan menggunakan perpres No.88/2017,” kata Sadino.
Kebijakan yang tidak pro keadilan itu telah mengakibatkan kegiatan replanting sawit serta sertifikasi ISPO yang menjadi program pemerintah terhambat. Pasalnya, Badan Pertananan Nasional (BPN) mesyaratkan program replanting sawit swadaya hanya bisa dilakukan pada perkebunan yang telah disertifikasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News