Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. BPK dalam ikhtisar hasil pemeriksaan (IHSP) semester I-2023 mengungkapkan adanya temuan signifikan pada 11 BUMN atau anak perusahaannya.
Salah satu temuan yakni Pertamina International Marketing and Distribution Pte. Ltd. (PIMD) melakukan penjualan kargo kepada Phoenix Petroleum Philippines Inc. (PPPI) tanpa melalui analisis risiko yang memadai dan tidak memastikan kontrak penjualan ditandatangani oleh PPPI.
Hal tersebut mengakibatkan PIMD berpotensi menanggung kerugian atas tidak tertagihnya piutang kepada PPPI sebesar US$ 124,53 juta dan PIMD kehilangan kesempatan memperoleh denda sebesar US$ 26,6 juta serta terbebani bunga (interest) Letter of Credit (LC) loan per 31 Desember 2021 sebesar US$ 868,27 ribu.
Menanggapi hal itu, VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, semua rekomendasi dari BPK terkait PIMD sudah ditindaklanjuti sebelum laporan tersebut rilis.
Baca Juga: PGN Tindaklanjuti Temuan dan Rekomendasi BPK Terkait Perjanjian Jual Beli Gas
Sebagai informasi, pada semester I tahun 2023, BPK telah menyelesaikan hasil pemeriksaan atas pendapatan, biaya, dan investasi terhadap 11 objek pemeriksaan pada 11 BUMN/anak perusahaan. Di antaranya PT Perusahaan Gas Negara Tbk (Subholding Gas)/PT PGN, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PT PLN, PT Pertamina (Persero), PT Telekomunikasi Indonesia (Persero)/PT Telkom, dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk/PT Waskita.
Pemeriksaan ini meliputi kegiatan pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi BUMN tahun 2017-2022. Pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi dilakukan untuk mendukung Program Prioritas (PP) 6 – nilai tambah, lapangan kerja, investasi sektor riil, industrialisasi, khususnya Kegiatan Prioritas (KP) iklim usaha, investasi, dan reformasi ketenagakerjaan.
Pemeriksaan ini dilakukan sebagai upaya BPK mendorong pemerintah dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB, yaitu tujuan ke-8 terutama target 8.1 – mempertahankan pertumbuhan ekonomi per kapita sesuai dengan kondisi nasional.
Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pendapatan, biaya, dan investasi BUMN telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian pada 10 objek pemeriksaan dan tidak sesuai kriteria pada 1 objek pemeriksaan. Permasalahan yang ditemukan antara lain:
- Pemberian uang muka perikatan perjanjian jual beli gas (PJBG) sebesar US$15 juta oleh PT PGN kepada PT IAE tidak didukung dengan mitigasi risiko memadai, di antaranya: (1) Tidak mengacu pada kajian tim internal atas mitigasi risiko dan cost benefit analysis; (2) Tidak didukung dengan jaminan yang memadai, yaitu dokumen Parent Company Guarantee tidak dieksekusi oleh PT PGN dan nilai jaminan fidusia berupa jaringan pipa PT BIG senilai Rp 16,79 miliar jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai uang muka yang diberikan; (3) Tidak memperhatikan kebijakan pemerintah atas larangan transaksi gas secara bertingkat, karena pembelian gas kepada PT IAE yang bukan produsen gas; dan (4) Tidak melalui analisis keuangan dan due dilligence yang memadai, yang ditunjukkan dengan nilai current liability PT IAE lebih besar dibandingkan current asset-nya. Akibatnya, sisa uang muka sebesar US$ 14,19 juta berpotensi tidak tertagih yang dapat membebani keuangan perusahaan.
Atas permasalahan tersebut, BPK RI merekomendasikan Direksi PT PGN untuk mengoptimalkan pemulihan piutang uang muka kepada PT IAE sebesar US$14,19 juta dan berkoordinasi dengan Direksi PT Pertamina dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum (APH).
- PT PLN belum sepenuhnya menerapkan tarif layanan khusus (L) sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM kepada pelanggan premium, tarif yang dikenakan saat ini menggunakan tarif reguler ditambah nilai layanan premium yang mengakibatkan PT PLN kehilangan pendapatan sebesar Rp5,69 triliun pada uji petik tahun 2021.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direktur Utama PT PLN agar segera menerapkan tarif kepada pelanggan premium secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- PT Telkom belum menerima pengembalian pokok, bunga, dan denda sampai dengan Desember 2022 sebesar Rp 459,29 miliar dari PT PINS (anak perusahaan PT Telkom) atas pinjaman melalui bridge financing tahun 2018. Pinjaman tersebut digunakan untuk membiayai program sinergi new sales broadband Telkomsel yang diusulkan PT TMI.
Baca Juga: Temuan BPK: Belanja 78 K/L Senilai Rp 16,39 Triliun Belum Sepenuhnya Sesuai Ketentuan
Hasil pemeriksaan menunjukkan permasalahan antara lain: (1) PT Telkom belum menerima pengembalian pokok, bunga, dan denda pinjaman bridge financing dari PINS; (2) Tujuan pemberian bridge financing untuk sinergi new sales broadband tidak tercapai; (3) Belum terdapat mitigasi yang memadai atas risiko bridge financing dan transaksi sinergi; dan (4) Beberapa ketentuan terkait dengan bridge financing belum terpenuhi, seperti ketiadaan dokumen persetujuan Direktur Keuangan PT Telkom atas pemenuhan kebutuhan bridge financing dan ketiadaan analisa kelayakan proyek. Selain itu, PT PINS belum memperoleh pembayaran dari customer atas penjualan e-voucher dan handset pada program new sales broadband tahun 2019 dengan sisa piutang sebesar Rp 295,60 miliar, dan diketahui perusahaan mitra dan customer terafiliasi dengan PT TMI sehingga terdapat kemungkinan konflik kepentingan.
Akibatnya, PT Telkom menanggung kerugian sebesar Rp 459,29 miliar atas dana bridge financing yang belum dibayar oleh PINS dan PINS menanggung kerugian keuangan sebesar Rp295,60 miliar atas pembayaran yang belum diterima dari customer.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi PT Telkom agar memerintahkan Direksi PINS untuk: (1) Memperbaiki tata kelola perusahaan; (2) Melakukan upaya penagihan yang optimal dan melakukan upaya hukum yang diperlukan; (3) Memberikan sanksi kepada Direksi PT PINS dan Vice President Strategic Planning & Investment PT Telkom; serta (4) Berkoordinasi dengan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada APH.
- Target penjualan vaksinasi Gotong Royong (VGR) untuk COVID-19 sebanyak 7,5 juta dosis oleh PT Bio Farma tidak tercapai, karena adanya perubahan kebijakan vaksin gratis dari pemerintah yang mengakibatkan VGR tidak diminati dan skema pendistribusian VGR ditunda.
Per tanggal 30 November 2022, terdapat VGR yang belum terdistribusi sebanyak 3.208.542 dosis dengan nilai sebesar Rp 525,18 miliar yang hampir melewati batas kedaluwarsa di tahun 2023. Akibatnya, persediaan VGR yang kedaluwarsa tahun 2023 berpotensi membebani keuangan PT Bio Farma minimal sebesar Rp 525,18 miliar.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi PT Bio Farma agar berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian BUMN untuk melakukan upaya-upaya yang optimal dalam memastikan adanya penyerapan VGR dengan memperhatikan masa kedaluwarsa vaksin tersebut dalam rangka meminimalkan terjadinya kerugian perusahaan.
- Pertamina International Marketing and Distribution Pte. Ltd. (PIMD) melakukan penjualan kargo kepada Phoenix Petroleum Philippines Inc. (PPPI) tanpa melalui analisis risiko yang memadai dan tidak memastikan kontrak penjualan ditandatangani oleh PPPI.
Baca Juga: Semester I-2023, BPK Ungkap 9.261 Temuan Senilai Rp 18,19 Triliun
Hal tersebut mengakibatkan PIMD berpotensi menanggung kerugian atas tidak tertagihnya piutang kepada PPPI sebesar US$ 124,53 juta dan PIMD kehilangan kesempatan memperoleh denda sebesar US$ 26,6 juta serta terbebani bunga (interest) Letter of Credit (LC) loan per 31 Desember 2021 sebesar US$ 868,27 ribu.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi PT PPN memerintahkan Managing Director PIMD untuk melakukan seluruh upaya menagih piutang kepada PPPI dan mengenakan denda maksimal yang dapat ditagihkan kepada PPPI, serta berkoordinasi dengan Dewan Komisaris PT PPN dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum.
- Pembelian PIMD atas 3 unit kapal tongkang (barge) bekas (secondhand) kepada Hong Lam yang bernama MT Eager, MT Isselia, dan MT Zemira senilai total US$ 20,08 juta tidak sesuai dengan tujuan investasi untuk mendapatkan license sebagai Bunkering Supplier dan memiliki keekonomian investasi negatif.
Lebih lanjut, terdapat indikasi pengaturan dalam pemilihan konsultan appraisal. Permasalahan tersebut mengakibatkan tujuan investasi tidak tercapai dan indikasi kerugian PIMD sebesar US$20,08 juta atas pembelian 3 unit kapal barge.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Dewan Komisaris PT PPN agar menginstruksikan kepada Direktur Utama, Direktur Keuangan, dan Direktur Perencana Pengembangan Bisnis PT PPN Periode 2021 sebagai Decision Gate yang tidak cermat dalam menyetujui usulan investasi untuk mempertanggungjawabkan kepada pemegang saham melalui RUPS dan berkoordinasi dengan Kementerian BUMN untuk melakukan investigasi terhadap permasalahan ini dan melaporkan kepada aparat penegak hukum bila ditemukan adanya unsur fraud.
- PT Bima Sepaja Abadi/PT BSA (anak perusahaan PT Semen Padang/ PT SP) merupakan cucu perusahaan PT Semen Indonesia Grup (PT SIG). Dalam pelaksanaan kerja sama bisnis, PT BSA tidak melakukan proses studi kelayakan atau due dilligence atas mitra dan proyek yang dikerjasamakan.
Permasalahan terkait hal tersebut antara lain: (1) Kerja sama atas 4 pekerjaan dengan penyedia jasa PT ETB dan PT PIL dilakukan dengan pemberian modal kerja kepada mitra. Atas pekerjaan tersebut mitra menyerahkan cek kepada PT BSA dengan total sebesar Rp 4,22 miliar, namun pada saat jatuh tempo cek tersebut tidak dapat dicairkan; (2) Kerja sama bisnis fiktif antara PT BSA dengan PT ATL dan CV AL, di mana PT BSA telah membayar kepada CV AL sebesar Rp 101,26 miliar, namun PT BSA baru menerima pembayaran dari PT ATL sebesar Rp73,64 miliar. Sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp27,62 miliar dan keuntungan yang seharusnya diterima sebesar Rp 14,95 miliar, atau seluruhnya Rp 42,57 miliar.
Untuk mendanai kerja sama tersebut, PT BSA di antaranya menggunakan fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) dari BNI. Permasalahan dalam kerja sama dengan PT ATL dan CV AL berdampak pada ketidakmampuan PT BSA untuk membayar utang jatuh tempo kepada BNI, sehingga PT BSA mengajukan share holder loan (SHL) kepada PT SP. Atas peminjaman tersebut, PT BSA harus menanggung utang pokok SHL kepada PT SP sebesar Rp 19,60 miliar dan bunga SHL sebesar Rp 2,90 miliar; serta (3) Terdapat kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pekerjaan dan biaya jasa notaris dengan total sebesar sebesar Rp 2,75 miliar pada pekerjaan Proyek SPBU di Setu – Bekasi.
Baca Juga: BPK Temukan Masalah di 11 BUMN, Ekonom : Tata Kelola Perlu Diperbaiki
Permasalahan tersebut mengakibatkan: (1) Potensi kerugian atas penyelesaian piutang usaha kepada PT PIL dan PT ETB sebesar Rp 4,22 miliar; (2) Indikasi kerugian sebesar Rp 42,57 miliar atas kerja sama bisnis antara PT BSA dengan PT ATL dan CV AL; (3) Potensi kerugian PT SP atas utang pokok SHL dan bunga SHL PT BSA kepada PT SP dengan total sebesar Rp 22,50 miliar; dan (4) Kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pembangunan SPBU dan biaya jasa notaris sebesar Rp 2,75 miliar.
BPK merekomendasikan kepada Direksi PT SIG (selaku holding BUMN industri semen) agar: (1) Melakukan investigasi atas kerja sama bisnis PT BSA dan seluruh aspek atas temuan pemeriksaan untuk menentukan apakah terdapat dugaan pelanggaran atau permasalahan hukum, dan jika terdapat dugaan tersebut maka dilakukan upaya hukum lebih lanjut; (2) Melalui Direksi PT SP sebagai pemegang saham PT BSA untuk melakukan kajian bisnis mengenai layak atau tidaknya atas keberlangsungan dan keberadaan PT BSA sebagai anak perusahaan PT SP; serta (3) Memerintahkan Direksi PT BSA untuk menetapkan kebijakan terkait prosedur kerja sama.
- Piutang usaha dan tagihan bruto pada anak perusahaan PT Waskita Karya, yaitu PT Waskita Beton Precast/PT WSBP berpotensi tidak tertagih, dengan permasalahan di antaranya: (1) Pembangunan Jalan Tol Krian-Legundi-Bunder-Manyar (KLBM) seksi-4 yang dilaksanakan oleh PT WSBP mengalami penghentian karena sedang dilakukan kajian ulang kelayakan.
PT WSBP belum dapat menagihkan pembayaran atas kemajuan fisik sebesar 69,57% atau sebesar Rp 781,51 miliar yang terdiri atas pekerjaan fisik sebesar Rp 1,73 miliar dan material on site (MOS) sebesar Rp779,77 miliar, karena berdasarkan kontrak, pembayaran dapat dilakukan apabila kemajuan pekerjaan telah mencapai 100% (turnkey contract); dan (2) Pengadaan material tetrapod untuk pengaman pantai senilai Rp 436,80 miliar dilaksanakan berdasar surat perjanjian pemesanan material dari PT STL. Tetrapod tersebut telah diproduksi sebanyak 265.785 buah, dan disimpan pada lokasi stock yard milik PT WSBP.
Namun, sampai dengan berakhirnya kontrak, PT STL belum melakukan pembayaran atas pengadaan tetrapod, sehingga PT WSBP mengambil tindakan hukum. Permasalahan tersebut mengakibatkan piutang usaha sebesar Rp 436,80 miliar berpotensi tidak tertagih, tagihan bruto sebesar Rp 781,51 miliar belum dapat ditagih, dan PT WSBP masih menanggung biaya sewa dan beban bunga terkait dengan MOS sebesar Rp 142,11 miliar.
Baca Juga: KPK Tetapkan Kajari Bondowoso Tersangka Suap Pengurusan Perkara
Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan Direksi PT WSBP agar mengintensifkan mediasi kepada para pemberi kerja sehingga tagihan bruto atas prestasi fisik sebesar Rp 1,73 miliar dapat segera diproses untuk ditagih, melakukan kajian dan tindakan untuk memperjelas status MOS sebesar Rp 779,77 miliar, dan melakukan kajian risiko atas rencana penagihan piutang usaha sebesar Rp 436,80 miliar termasuk rencana pemanfaatan atau penjualan kembali tetrapod yang telah diproduksi.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas pendapatan, biaya, dan investasi BUMN mengungkapkan 117 temuan yang memuat 202 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 113 kelemahan SPI, 71 permasalahan ketidakpatuhan sebesar Rp 2,92 triliun, dan 18 permasalahan 3E sebesar Rp 1,26 triliun.
Selama proses pemeriksaan berlangsung, beberapa BUMN/anak perusahaan telah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan melakukan penyetoran ke kas negara/perusahaan sebesar Rp 10,06 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News