Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Dewan Komisaris PT PPN agar menginstruksikan kepada Direktur Utama, Direktur Keuangan, dan Direktur Perencana Pengembangan Bisnis PT PPN Periode 2021 sebagai Decision Gate yang tidak cermat dalam menyetujui usulan investasi untuk mempertanggungjawabkan kepada pemegang saham melalui RUPS dan berkoordinasi dengan Kementerian BUMN untuk melakukan investigasi terhadap permasalahan ini dan melaporkan kepada aparat penegak hukum bila ditemukan adanya unsur fraud.
- PT Bima Sepaja Abadi/PT BSA (anak perusahaan PT Semen Padang/ PT SP) merupakan cucu perusahaan PT Semen Indonesia Grup (PT SIG). Dalam pelaksanaan kerja sama bisnis, PT BSA tidak melakukan proses studi kelayakan atau due dilligence atas mitra dan proyek yang dikerjasamakan.
Permasalahan terkait hal tersebut antara lain: (1) Kerja sama atas 4 pekerjaan dengan penyedia jasa PT ETB dan PT PIL dilakukan dengan pemberian modal kerja kepada mitra. Atas pekerjaan tersebut mitra menyerahkan cek kepada PT BSA dengan total sebesar Rp 4,22 miliar, namun pada saat jatuh tempo cek tersebut tidak dapat dicairkan; (2) Kerja sama bisnis fiktif antara PT BSA dengan PT ATL dan CV AL, di mana PT BSA telah membayar kepada CV AL sebesar Rp 101,26 miliar, namun PT BSA baru menerima pembayaran dari PT ATL sebesar Rp73,64 miliar. Sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp27,62 miliar dan keuntungan yang seharusnya diterima sebesar Rp 14,95 miliar, atau seluruhnya Rp 42,57 miliar.
Untuk mendanai kerja sama tersebut, PT BSA di antaranya menggunakan fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) dari BNI. Permasalahan dalam kerja sama dengan PT ATL dan CV AL berdampak pada ketidakmampuan PT BSA untuk membayar utang jatuh tempo kepada BNI, sehingga PT BSA mengajukan share holder loan (SHL) kepada PT SP. Atas peminjaman tersebut, PT BSA harus menanggung utang pokok SHL kepada PT SP sebesar Rp 19,60 miliar dan bunga SHL sebesar Rp 2,90 miliar; serta (3) Terdapat kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pekerjaan dan biaya jasa notaris dengan total sebesar sebesar Rp 2,75 miliar pada pekerjaan Proyek SPBU di Setu – Bekasi.
Baca Juga: BPK Temukan Masalah di 11 BUMN, Ekonom : Tata Kelola Perlu Diperbaiki
Permasalahan tersebut mengakibatkan: (1) Potensi kerugian atas penyelesaian piutang usaha kepada PT PIL dan PT ETB sebesar Rp 4,22 miliar; (2) Indikasi kerugian sebesar Rp 42,57 miliar atas kerja sama bisnis antara PT BSA dengan PT ATL dan CV AL; (3) Potensi kerugian PT SP atas utang pokok SHL dan bunga SHL PT BSA kepada PT SP dengan total sebesar Rp 22,50 miliar; dan (4) Kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pembangunan SPBU dan biaya jasa notaris sebesar Rp 2,75 miliar.
BPK merekomendasikan kepada Direksi PT SIG (selaku holding BUMN industri semen) agar: (1) Melakukan investigasi atas kerja sama bisnis PT BSA dan seluruh aspek atas temuan pemeriksaan untuk menentukan apakah terdapat dugaan pelanggaran atau permasalahan hukum, dan jika terdapat dugaan tersebut maka dilakukan upaya hukum lebih lanjut; (2) Melalui Direksi PT SP sebagai pemegang saham PT BSA untuk melakukan kajian bisnis mengenai layak atau tidaknya atas keberlangsungan dan keberadaan PT BSA sebagai anak perusahaan PT SP; serta (3) Memerintahkan Direksi PT BSA untuk menetapkan kebijakan terkait prosedur kerja sama.
- Piutang usaha dan tagihan bruto pada anak perusahaan PT Waskita Karya, yaitu PT Waskita Beton Precast/PT WSBP berpotensi tidak tertagih, dengan permasalahan di antaranya: (1) Pembangunan Jalan Tol Krian-Legundi-Bunder-Manyar (KLBM) seksi-4 yang dilaksanakan oleh PT WSBP mengalami penghentian karena sedang dilakukan kajian ulang kelayakan.
PT WSBP belum dapat menagihkan pembayaran atas kemajuan fisik sebesar 69,57% atau sebesar Rp 781,51 miliar yang terdiri atas pekerjaan fisik sebesar Rp 1,73 miliar dan material on site (MOS) sebesar Rp779,77 miliar, karena berdasarkan kontrak, pembayaran dapat dilakukan apabila kemajuan pekerjaan telah mencapai 100% (turnkey contract); dan (2) Pengadaan material tetrapod untuk pengaman pantai senilai Rp 436,80 miliar dilaksanakan berdasar surat perjanjian pemesanan material dari PT STL. Tetrapod tersebut telah diproduksi sebanyak 265.785 buah, dan disimpan pada lokasi stock yard milik PT WSBP.
Namun, sampai dengan berakhirnya kontrak, PT STL belum melakukan pembayaran atas pengadaan tetrapod, sehingga PT WSBP mengambil tindakan hukum. Permasalahan tersebut mengakibatkan piutang usaha sebesar Rp 436,80 miliar berpotensi tidak tertagih, tagihan bruto sebesar Rp 781,51 miliar belum dapat ditagih, dan PT WSBP masih menanggung biaya sewa dan beban bunga terkait dengan MOS sebesar Rp 142,11 miliar.
Baca Juga: KPK Tetapkan Kajari Bondowoso Tersangka Suap Pengurusan Perkara
Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan Direksi PT WSBP agar mengintensifkan mediasi kepada para pemberi kerja sehingga tagihan bruto atas prestasi fisik sebesar Rp 1,73 miliar dapat segera diproses untuk ditagih, melakukan kajian dan tindakan untuk memperjelas status MOS sebesar Rp 779,77 miliar, dan melakukan kajian risiko atas rencana penagihan piutang usaha sebesar Rp 436,80 miliar termasuk rencana pemanfaatan atau penjualan kembali tetrapod yang telah diproduksi.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas pendapatan, biaya, dan investasi BUMN mengungkapkan 117 temuan yang memuat 202 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 113 kelemahan SPI, 71 permasalahan ketidakpatuhan sebesar Rp 2,92 triliun, dan 18 permasalahan 3E sebesar Rp 1,26 triliun.
Selama proses pemeriksaan berlangsung, beberapa BUMN/anak perusahaan telah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan melakukan penyetoran ke kas negara/perusahaan sebesar Rp 10,06 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News