Reporter: Ranimay Syarah | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Proyek pemasangan alat monitoring konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang menggunakan Radio Frequency Identification ( RFid), naga-naganya, bakal gagal total. Pemasangan alat terhenti karena PT INTI tidak sanggup lagi menyediakan alat RFid. Penyebabnya, pelemahan rupiah mengakibatkan harga alat tersebut melambung tinggi.
Seperti diketahui, Pertamina telah melakukan tender pengadaan RFid pada akhir tahun 2013. Saat itu, Pertamina sudah menawarkan nilai kontrak dibayar sebesar Rp 21 per liter dari BBM subsidi yang disalurkan dengan sistem penyaluran RFId. Namun saat itu, INTI menyanggupi nilai kontrak dengan harga lebih rendah, yakni Rp 18 per liter. Dengan harga serendah itu, INTI menang tender.
Suhartoko, Senior Vice President Fuel and Marketing Pertamina menjelaskan, pada saat tender dilakukan, INTI merasa mampu dibayar Rp 18 per liter dengan acuan kurs dollar Rp 10.000, dan tingkat bunga 5,2%. Nyatanya, situasi terkini berbeda dengan asumsi INTI. Kurs dollar naik hingga Rp 12.000, sedang bunga mengembang hingga 7%.
"Karena kondisi itu, mereka minta revisi ulang kontrak pada tender. Namun Pertamina tidak bisa melakukan itu karena harus dikaji oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang biasa mengawasi Pertamina," kata Suhartoko kepada KONTAN, Minggu (23/02).
Ia menyatakan, Pertamina sangat memahami kondisi INTI saat ini, mengingat semua peralatan RFId diimpor dari China dan dibayar dengan dollar AS. "Kami paham kesulitan INTI. Istilahnya, mereka juga tidak mau proyeknya gagal karena sudah dapat dengan susah payah. Tapi Pertamina masih menunggu saran BPKP," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News