Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Lalu lintas maskapai PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) belakangan sepi di udara. Ini lantaran jumlah pesawat Garuda Indonesia yang beroperasi tak banyak.
Dari total Garuda Indonesia sempat memiliki 142 pesawat, kini tersisa hanya 40 pesawat-60 pesawat saja.
“Belakangan kami mendapat komplain karena flight Garuda makin langka. Banyak pesawat Garuda yang sudfah di grounded. Dari 142 pesawat menjadi 50-60 pesawat. Ini memang menjadi isu karena kami akan selektif melayani rute tertentu yang secara profitabilitas di atas cost structure Garuda,” ujarnya dalam rapat bersama komisi VI, Selasa (9/11).
Baca Juga: Ini tiga opsi baru restrukturisasi utang jumbo Garuda (GIAA) segede Rp 140 triliun
Tiko, sapaan akrab Wamen BUMN, menjelaskan dari banyak tipe pesawat yang sebelumnya dimiliki Garuda, pesawat Boeing 737 yang lebih efisien dari sisi operasi justru yang paling banyak diambil oleh perusahaan lessor.
Itu pula yang membuat maskapai milik negara ini hanya menggunakan tipe widebody Boeing 777 dan 330 yang mengangkut lebih banyak penumpang kendati tidak seefisien Boeing 777.
Adapun anak usaha Garuda, Citilink masih relatif stabil dari kepemilikan pesawat dengan mayoritas bertipe A320. Tipe pesawat dan kepemilikan pesawat oleh Citilink ini akan tetap dipertahankan.
Baca Juga: Garuda (GIAA) buka suara soal tarif sewa, nego dengan lessor dan jumlah pesawatnya
Tiko menggambarkan latar belakang kondisi Garuda saat ini merupakan gabungan dari dua aspek pada masa lalu ada tata kelola yang buruk dan besar sehingga membuat cost structure tidak kompetitif.
Bahkan, ada kasus korupsi yang juga sudah diputuskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait nilai kontrak pesawat.
Nilai kontrak pesawat ini menyebabkan jumlahnya cukup tinggi dibandingkan dengan maskapai lainnya lainnya.
Pada tahun 2019, emiten berkode saham GIAA tersebut sebetulnya sudah dapat menghasilkan keuntungan dari rute domestik meski merugi di rute internasional.
Saat itu, Garuda masih bisa meraih keuntungan senilai US$ 240 juta.Namun, pandemi menjadi pemicu yang disebut Tiko sebagai perfect storm.
Maskapai dengan jenis layanan penuh tersebut harus berjuang dengan cost structure dan pendapatan yang turun signifikan. Apabila pada 2019 jumlah penumpang GIAA sempat menyentuh 235 juta, kini tertinggal hanya 70 juta orang.
“Ini yang merupakan imbas pengetatan kemudian juga penerapan PCR berdampak ke Garuda. Penumpang saat ini pun hanya 70 juta orang,” ujarnya.
Padahal pada Desember 2020, jumlah penumpang pernah mencapai 100 juta, namun kembali turun karena pandemi.
Tiko menyebut, saat ini sulit untuk memprediksi cashflow Garuda karena sangat tergantung dari pemulihan kondisi Covid.
“Jadi kalau ditanyakan Garuda ini kinerjanya turun karena apa karena pandemi atau karena korupsi? Dua-duanya Covid-19 dan korupsi,” tekannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News