kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

PHRI: Kenaikan harga tiket pesawat telah memukul bisnis perhotelan


Senin, 11 Februari 2019 / 17:59 WIB
PHRI: Kenaikan harga tiket pesawat telah memukul bisnis perhotelan


Reporter: Petrus Dabu | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kenaiakan harga tiket dan bagasi pesawat telah menyebabkan kelesuhan pada bisnis perhotelan. Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan akibat kebijakan tersebut, okupansi hotel turun 20% hingga 40% sejak Januari.

"Terus terang kami merasa terpukul dengan adanya kenaikan tiket yang dipicu oleh Garuda.Kenaikan itu cukup signifikan 40%, " ujar Hariyadi di sela-sela Rakernas PHRI di Hotel Sahid, Jakarta, Senin (11/2).

Hariyadi mengatakan, Garuda memang tidak menyatakan menaikkan harga tiket pesawat. "Tetapi mereka menghilangkan tiket promonya, dimana itu adalah 50% dari kapasitas pesawat," ujarnya.

Kebijakan Garuda ini, lanjut Hariyadi diikuti oleh maskapai Lion Air."Lion Air ini mengenakan bagasi berbayar," ujarnya.

Hariyadi mengatakan tinggal Air Asia yang kini belum menaikkan harga tiket maupun mengenakan tarif untuk bagasi penumpang. Tetapi, menurut dia, Air Asia bukan penguasa pasar penerbangan domestik. "Air Asia ini sebetulnya tidak bisa juga dikategorikan penerbangan domestik karena dari 34 rute penerbangan, yang domestik hanya delapan," ujarnya.

Menurut Hariyadi, penyebab mahalnya tiket pesawat adalah karena harga avtur yang dibayar oleh penerbangan domestik mencapai 20% lebih mahal dibandingkan di pasar internasional. "Jadi mengisi Kuala Lumpur dan di Jakarta itu, di Jakarta 20% lebih mahal," ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bila model bisnis maskapai di Indonesia dan Pertamina seperti ini, maka kepentingan nasional yang akan dirugikan. Karena itu, PHRI akan meminta secara langsung ke Presiden Joko Widodo, yang rencananya akan hadir dalam Rakernas PHRI Senin malam, untuk menghapus dominasi Pertamina sebagai penjual avtur di Indonesia.

"Kita mengharapkan pemerintah untuk membuka dominasinya Pertamina, Pertamina enggak boleh jadi monopoli penjualan avtur, harus ada perusahaan lain yang menjual avtur," ujarnya.

Selain avtur yang dimonopoli Pertamina, menurut Hariyadi, PHRI juga mensinyalir ada praktik kartel dalam bisnis penerbangan di Indonesia saat ini, terutama pasca operasi Sriwijaya Air berada di bawah Garuda Indonesia.

Hal ini, lanjut Hariyadi juga akan disampaikan ke presiden Joko Widodo. "Praktik dari Garuda dan lain-lain ini sudah mengarah ke kartel, karena tinggal berdua. Ini yang menurut pandangan kami adalah persaingan yang tidak sehat," ujarnya.

Karena itu, Hariyadi meminta agar pemerintah memberikan izin bagi maskapai lain untuk melayani rute penerbangan domestik. "Penerbangan regional itu diberikan kesempatan untuk rute-rute yang dianggap oleh pemerintah harganya tidak fair," ujarnya.

Selain soal monopoli penjualan avtur dan dugaan kartel dalam bisnis penerbangan saat ini, Hariyadi juga menyoroti sejumlah masalah lainnya, yang menyebabkan biaya penerbangan di Indonesia mahal. Misalnya, komponen untuk sparepart. Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa membebaskan bea masuk impor sparepart ini, bila memang itu telah memberatkan pelaku industri penerbangan.

Hariyadi juga meminta agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk avtur yang saat ini sebesar 10% ditinjau kembali. "Kalau di luar negeri itu, enggak ada yang namanya avtur di kasih PPN, kita itu ada PPN," ujarnya.

Hariyadi mengatakan kenaikan tiket pesawat dan biaya bagasi ini telah menyebabkan okupansi hotel di sejumlah daerah di Indonesia turun drastis sebesar 20% sampai 40% sejak Januari lalu.

"Dampak dari ini bukan cuma okupansi hotel saja yang mengalami permasalahan, tetapi juga pelaku usaha UKM di daerah, seperti pusat ole-ole turun. Padahal pusat ole-ole itu kan mereka menampung baik kerajinan maupun juga bahan-bahan makanan dari pelaku UKM," ujarnya.

Menteri Pariwisata, Arief Yahya, yang hadir dalam Rakernas PHRI ini, mengatakan sudah membicarakan masalah tiket pesawat ini dengan Kementerian Perhubungan, baik secara formal maupun informal. Menurut Arief, kebiajkan menaikan harga tiket pesawat ini merugikan banyak industri, termasuk industri penerbangan itu sendiri. "UKM sekarang sudah mulai mengeluh. Poin saya apa? Kalau mau melakukan kenaikan tarif jangan dilakukan secara besar dan mendadak. Sesuatu yang besar dan mendadak, pasti impact-nya relatif tidak bagus, apalagi kalau itu kenaikan," ujarnya.

Untuk industri pariwisata sendiri, menurut Arief kenaikan tiket pesawat ini telah menyebabkan okupansi hotel turun. "Contoh Lombok okupansinya tinggal 30%.Hampir seluruh Indonesia. Dan ini impacat terbesar untuk wisnus (wisatawan nusantara)," ujarnya.

Tahun 2019 ini, PHRI memperkirakan okupanis hotel berbintang tetap di kisaran 55%, sama seperti tahun lalu. Stagnannya okupansi hotel ini, menurut Hariyadi terjadi karena pertumbuhan jumlah kamar juga meningkat. "Tetapi kalau masalah tiket ini terus, itu akan drop kurang dari 55%," ujarnya.

Dalam Rakernas ini, PHRI juga menyoroti soal larangan Menteri Dalam Negeri kepada pemerintah daerah untuk menggelar rapat di hotel. Larangan ini dikeluarkan setelah terjadi kasus dugaan pemukulan penyidik KPK di Hotel Borobudur Jakarta saat sedang bertugas, Minggu dini hari (3/2). Pada saat itu, pemerintah provinis Papua sedang melakukan rapat terkait RAPBD Papua Tahun Anggaran 2019.

"Kita meminta pemerintah untuk jangan mengkambinghitamkan hotel, selalu saja saja kalau ada maslah inefisiensi di dalam pengelolaan anggaran pemerintah, yang disalahkan hotelnya. Pokoknya jangan bikin kegiatan di hotel," ujarnya.

Menurutnya, larangan rapat di hotel tersebut memiliki dampak yang besar untuk industri perhotelan. Kebijakan larangan rapat di hotel ini pernah dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada akhir 2014 lalu. "Itu dampaknya langsung terpukul luar biasa dan kami membutuhkan pemulihan sampai satu tahun," ujarnya.

Menurut Hariyadi, larangan rapat atau kegiatan di hotel untuk instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah justru membuat anggaran makin tidak efisein. Karena tidak semua instansi pemerintah memiliki fasilitas ruang pertemuan maupun akomodasi yang memadai. "Kalau enggak mau pakai hotel juga enggak apa-apa, tetapi jangan dibilang bahwa tidak boleh menggunakan fasilitas hotel. Seolah-olah kami menjadi penyebab ketidakefisienan dari penyelenggaraan negara," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×