kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PLN bersiap adopsi energi hijau di PLTU dengan co-firing campuran sampah dan kayu


Selasa, 25 Februari 2020 / 20:37 WIB
PLN bersiap adopsi energi hijau di PLTU dengan co-firing campuran sampah dan kayu
ILUSTRASI. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cilacap Ekspansi II atau PLTU Jawa 8. PLN bersiap hijaukan PLTU dengan co-firing campuran sampah dan kayu. DOK PLN


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berupaya melakukan pencampuran bahan bakar batubara dengan energi berbasis baru dan terbarukan (EBT) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pencampuran tersebut dilakukan dengan metode co-firing.

Direktur Pengadaan Strategis 1 PLN Sripeni Inten Cahyani mengungkapkan, metode co-firing merupakan pencampuran bahan bakar batubara pada PLTU dengan sumber energi biomassa. Dalam hal ini, PLN telah melakukan uji coba dalam bentuk pelet sampah, kayu (wood pellet) dan cangkang sawit.

Baca Juga: PLN siap sinkronkan listrik untuk kebutuhan industri

Sripeni menyebut, uji coba co-firing ini sudah dilakukan oleh dua anak usaha PLN, yakni PT Indonesia Power (IP) dan PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB). Ia mengklaim, dari enam PLTU yang telah diuji coba, metode co-firing sudah terbukti bisa mencampur batubara dengan pelet, tanpa mengganggu kinerja pembangkit.

"Uji coba sudah. PJB ada lima (PLTU), IP satu. PJB pellet kayu dan cangkang sawit, IP dengan sampah," kata Sripeni kepada Kontan.co.id selepas menghadiri Focus Group Discussion co-firing PLTU, Selasa (25/2).

Sripeni menjelaskan, uji coba telah dilakukan secara intensif sejak tahun lalu. Untuk PLTU PJB, uji coba dilakukan di lima PLTU. Tiga PLTU berlokasi di Jawa, yakni PLTU Indramayu (3 x 330 MW), PLTU Rembang (2 x 300 MW) dan PLTU Paiton (2 x 400 MW).

Sementara dua lainnya adalah PLTU Ketapang di Kalimantan Barat (2 x 10 MW) dan PLTU Tenayan di Riau (2 x 100 MW). Menurut Sripeni, pellet untuk campuran batubara menyesuaikan potensi yang ada di wilayah sekitar. Ia mengatakan, pellet yang digunakan untuk PLTU di Jawa memakai wood pellet, sementara yang di luar Jawa memakai cangkang sawit.

Baca Juga: Dukung transisi energi, Pertamina akan maksimalkan panas bumi dan gasifikasi batubara

Sementara itu, untuk PLTU yang dikelola IP, pellet yang digunakan berasal dari sampah. Pellet tersebut dihasilkan dengan metode Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) pada PLTU Jeranjang di NTB (3 x 25 MW).

Menurutnya, co-firing atau pencampuran energi berbasis biomassa dengan batubara ini memang harus memperhatikan nilai kalori. Adapun, nilai kalori dari pellet biomassa berkisar 3.400 kcal/kg - 4.400 kcal/kg.

Sripeni mengklaim, uji coba yang dilakukan oleh IP dan PJB sudah berhasil menerapkan co-firing dengan campuran 1%, 3% hingga 5%. Dengan campuran ini, Sripeni mengakui bahwa secara volume, tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pengurangan pemakaian batubara.

Namun dengan co-firing pada PLTU ini, kata Sripeni, PLN bisa menambah bauran EBT dalam kelistrikan, tanpa perlu membuat pembangkit baru. "Jadi ini semacam meng-EBT-kan PLTU. Secara volume memang sangat kecil kalau dibandingkan dengan batubara, tetapi dari sisi lingkungan sangat berguna. Kita berharap ini bisa menambah bauran EBT," ungkap Sripeni.

Baca Juga: Vale (INCO) alokasikan capex untuk pemeliharaan tungku, simak rekomendasi sahamnya

Sripeni memaparkan, ada 109 unit PLTU yang berpotensi untuk melakukan pencampuran dengan skema co-firing. 109 PLTU itu memiliki total kapasitas 18.275 MW. Dengan jumlah itu, Sripeni memberikan gambaran, untuk memberikan campuran sebesar 1% dengan co-firing, dibutuhkan biomassa sebanyak 17.470 ton per hari. Jumlah itu setara dengan 5 juta ton wood pellet per tahun dan setara dengan 738.000 ton per tahun untuk pellet sampah.

Sehingga Sripeni meminta ada dukungan regulasi dari pemerintah. Baik untuk memberikan kepastian dan keberlanjutan pasokan pellet, maupun dalam perhitungan kWh produksi untuk EBT. Dengan begitu, sambungnya, ekosistem co-firing ini bisa terbentuk, mulai dari pasokan bahan baku, harga jual, hingga perhitungan bauran listrik EBT.

Baca Juga: ABM Investama (ABMM) sukses produksi 11 juta ton batubara di tahun lalu

"Jadi perlu dibuat dulu ekosistemnya. Misalnya khusus untuk pellet kayu, sumbernya dari mana, jangan sampai ilegal. Mudah-mudahan begitu sudah ada peraturannya ini bisa cepat beroperasi," tutur Sripeni.

Lebih lanjut, Sripeni mengatakan bahwa campuran pellet biomassa dengan skema co-firing ini tidak membutuhkan banyak investasi atau tambahan capital expenditure (capex). Ia mengatakan, mesin dan alat untuk co-firing ini bisa dibuat di dalam negeri. "Investasi hanya kecil-kecil. Itu kan 100% lokal. Jadi ini memang bisa menjadi ekosistem untuk penggerak ekonomi masyarakat yang lintas sektor," tandas Inten.

Sementara itu, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan bahwa pihaknya mendukung pencampuran PLTU batubara dengan pellet berbasis biomassa yang dilakukan PLN dan anak usahanya. Adapun, terkait dengan dukungan regulasi, Jisman menyebut, pihaknya akan melihat terlebih dulu apa yang dibutuhkan dan apa yang bisa diberikan oleh pemerintah.

Baca Juga: Bumi Resources Minerals (BRMS) lakukan pengiriman dore bullion perdana

Yang jelas, katanya, pemerintah juga ingin ketersediaan dan keberlanjutan pasokan bahan baku pellet bisa terjaga. Sehingga regulasi bisa mengatur secara komprehensif dengan melibatkan lintas sektor. "Nanti kita lihat kebutuhannya seperti apa, kita ingin mengatur secara keseluruhan. Apakah itu di (Ditjen) Ketenagalistrikan dan EBTKE, atau lintas sektor dengan kementerian lain. Apa pun itu, kita ingin dekatkan dengan supply (bahan baku)nya," tandas Jisman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×