Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
Sripeni memaparkan, ada 109 unit PLTU yang berpotensi untuk melakukan pencampuran dengan skema co-firing. 109 PLTU itu memiliki total kapasitas 18.275 MW. Dengan jumlah itu, Sripeni memberikan gambaran, untuk memberikan campuran sebesar 1% dengan co-firing, dibutuhkan biomassa sebanyak 17.470 ton per hari. Jumlah itu setara dengan 5 juta ton wood pellet per tahun dan setara dengan 738.000 ton per tahun untuk pellet sampah.
Sehingga Sripeni meminta ada dukungan regulasi dari pemerintah. Baik untuk memberikan kepastian dan keberlanjutan pasokan pellet, maupun dalam perhitungan kWh produksi untuk EBT. Dengan begitu, sambungnya, ekosistem co-firing ini bisa terbentuk, mulai dari pasokan bahan baku, harga jual, hingga perhitungan bauran listrik EBT.
Baca Juga: ABM Investama (ABMM) sukses produksi 11 juta ton batubara di tahun lalu
"Jadi perlu dibuat dulu ekosistemnya. Misalnya khusus untuk pellet kayu, sumbernya dari mana, jangan sampai ilegal. Mudah-mudahan begitu sudah ada peraturannya ini bisa cepat beroperasi," tutur Sripeni.
Lebih lanjut, Sripeni mengatakan bahwa campuran pellet biomassa dengan skema co-firing ini tidak membutuhkan banyak investasi atau tambahan capital expenditure (capex). Ia mengatakan, mesin dan alat untuk co-firing ini bisa dibuat di dalam negeri. "Investasi hanya kecil-kecil. Itu kan 100% lokal. Jadi ini memang bisa menjadi ekosistem untuk penggerak ekonomi masyarakat yang lintas sektor," tandas Inten.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan bahwa pihaknya mendukung pencampuran PLTU batubara dengan pellet berbasis biomassa yang dilakukan PLN dan anak usahanya. Adapun, terkait dengan dukungan regulasi, Jisman menyebut, pihaknya akan melihat terlebih dulu apa yang dibutuhkan dan apa yang bisa diberikan oleh pemerintah.
Baca Juga: Bumi Resources Minerals (BRMS) lakukan pengiriman dore bullion perdana
Yang jelas, katanya, pemerintah juga ingin ketersediaan dan keberlanjutan pasokan bahan baku pellet bisa terjaga. Sehingga regulasi bisa mengatur secara komprehensif dengan melibatkan lintas sektor. "Nanti kita lihat kebutuhannya seperti apa, kita ingin mengatur secara keseluruhan. Apakah itu di (Ditjen) Ketenagalistrikan dan EBTKE, atau lintas sektor dengan kementerian lain. Apa pun itu, kita ingin dekatkan dengan supply (bahan baku)nya," tandas Jisman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News