Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
“Jadi walau pun kita pake duit sendiri, bunga dan tarifnya nggak disubsidi, tapi asetnya mau diambil sama pemerintah setelah 20 tahun dengan harga US$ 1.000. Nah, berarti kan aset itu bukan milik kita, dan kalau aset bukan milik kita, berarti kita nggak bisa jaminin ke perbankan,” kata Riza.
Padahal, menurut Riza, perbankan di Indonesia tidak mengenal project finance, sehingga pinjaman ke perbankan harus menyertakan jaminan. Terlebih, lanjut Riza, perbankan di Indonesia pun hampir tidak yang bisa memberikan pinjaman selama 10 tahun. Menurut Riza, ada sekitar 450 MW yang tertunda penyelesaian pembiayaannya setelah keluarnya peraturan yang dipersoalkannya tersebut.
“Pembiayaan EBT paling lama, membangun dua tahun, pembiayaan lima tahun. Jaminan proyek, nggak bisa. Kalau kreditnya macet, setidaknya akan dijual dalam waktu 10 tahun. Kalau ada ini (BOOT), kan jadi mikir-mikir,” jelasnya.
Terkait hal ini, Rida tak menampik, bahwa Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 ikut menjadi penghambat investasi. oleh sebab itu, Rida bilang, pihaknya membuka peluang untuk merevisi regulasi ini.
Rida menyebut, saat ini pihaknya sedang melakukan diskusi dengan berbagai stakeholder, baik dengan Kadin, asosiasi, maupun pengamat energi dan kebijakan publik. Menurut Rida, setidaknya ada tiga isu penting yang menjadi bahan evaluasi, yakni soal pemilihan langsung, BOOT, serta tarif Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
“Yang pasti Pak Menteri sudah membuka pintu dan menampung semua masukan, sekiranya itu akan lebih membuat kondisi investasi lebih baik, kenapa nggak? (untuk merevisi)” ungkapnya.
Juru Bicara Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) Rizal Calvary membenarkan adanya diskusi untuk mengevaluasi peraturan tersebut. Dalam hal ini, Rizal menggaris bawahi isu BOOT yang membuat sektor keuangan sulit untuk membiayai EBT.
“Dalam skema bangun, miliki, operasikan, dan transfer ke negara (BOOT) aset pengembang selama 20 -30 tahun akan diserahkan kepada PLN, yang selama ini membuat sektor keuangan susah membiayai EBT,” katanya.
Adapun, Riza Husni menyambut positif jika seandainya peraturan ini jadi direvisi. “Kalau betul seperti ini, kita sangat positif ini kabar terbaik sepanjang dua tahun terakhir,” ungkapnya.
Kendati realisasi investasi EBTKE masih belum optimal, namun Rida bilang, PNBP dari subsektor ini telah berkontribusi maksimal. Pasalnya, dari target Rp 700 miliar yang dipatok pada APBN 2018, realisasi PNBP EBTKE hingga triwulan III sudah menyentuh angka Rp 1.144 miliar atau 163% dari yang ditargetkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News