kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.830   0,00   0,00%
  • IDX 6.438   38,22   0,60%
  • KOMPAS100 926   8,20   0,89%
  • LQ45 723   5,45   0,76%
  • ISSI 205   2,17   1,07%
  • IDX30 376   1,61   0,43%
  • IDXHIDIV20 454   0,42   0,09%
  • IDX80 105   1,01   0,98%
  • IDXV30 111   0,45   0,40%
  • IDXQ30 123   0,28   0,22%

Pos Aduan Korban Pertamax Dibuka, Sudah Terima 426 Laporan


Jumat, 28 Februari 2025 / 17:38 WIB
Pos Aduan Korban Pertamax Dibuka, Sudah Terima 426 Laporan
ILUSTRASI. LBH Jakarta bersama CELIOS mengumumkan sejak Rabu (26/02) telah membuka Pos Pengaduan Warga Korban Pertamax Oplosan secara online.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama Center of Economic and Law Studies (CELIOS) atau Pusat Studi Ekonomi dan Hukum CELIOS mengumumkan sejak Rabu (26/02) telah membuka Pos Pengaduan Warga Korban Pertamax Oplosan secara online.

Kemudian pada hari ini Jumat (28/02) secara resmi mereka telah membuka pos pengaduan secara langsung atau daring.

LBH dan CELIOS melaporkan hingga hari ini, Jumat (28/02), telah masuk 426 pengaduan warga yang merasa terdampak dari kasus korban Pertamax oplosan tersebut.

Fadhil Alfathan, Direktur LBH Jakarta menjelaskan, dalam pemantauan di sosial media yang telah pihaknya lakukan, secara umum, banyak warga mengungkapkan keresahannya terkait kejadian ini.

Baca Juga: Pertamina Bantah Oplos Pertamax dan Pertalite dalam Kasus Dugaan Korupsi Pertamina

"Mulai dari merasa tertipu oleh Pertamina, hingga kondisi kendaraan bermotornya yang memburuk akibat kualitas BBM jenis Pertamax yang tidak sesuai dengan apa yang dipromosikan Pertamina," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Jumat (28/02).
 
Menurut Fadhil, Pertamina tidak bisa asal menyampaikan klarifikasi atau sanggahan begitu saja. Perlu ada pemeriksaan mendalam oleh tim independen yang terjamin dan teruji integritasnya.

"Keresahan warga semakin besar lantaran pihak Pertamina menyampaikan sanggahan-sanggahan terhadap polemik ini tanpa disertai bukti yang jelas dan akurat," jelasnya.

Tim tersebut menurut dia harus diisi oleh para ahli di bidang terkait dan juga melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan pemeriksaan tersebut, harapannya, ditemukan fakta-fakta kredibel yang dapat dipercaya oleh masyarakat.
 
Fadhil menambahkan bahwa jika benar dugaan pengoplosan ini terjadi, maka hal ini berdampak pada kerugian warga sebagai konsumen utama BBM.

Dalam konteks tersebut, menurutnya warga memiliki hak untuk mengambil langkah hukum sesuai dengan kebutuhannya untuk mendapatkan pemulihan dan menjamin kejadian serupa tidak lagi terjadi di masa depan.
 
Muhamad Saleh, peneliti hukum CELIOS menjelaskan bahwa kasus Pertamax Oplosan mencerminkan buruknya tata kelola energi di Indonesia, mulai dari subsidi BBM yang tidak transparan, lemahnya pengawasan, hingga minimnya akuntabilitas dalam pengadaan minyak.

"Mekanisme yang ada cenderung reaktif, bukan preventif, sementara data impor dan transaksi pembelian minyak tidak terbuka bagi publik, membuka celah bagi praktik korupsi. Sayangnya, penyelesaian kasus korupsi di sektor ini masih berfokus pada kerugian negara, bukan pemulihan hak rakyat yang terdampak," jelasnya.

Saleh juga menekankan pentingnya langkah konkret dalam mengatasi korupsi energi. Masyarakat yang dirugikan akibat kualitas BBM yang buruk atau kenaikan harga akibat praktik korupsi harus mendapatkan kompensasi yang layak.

Publik menurutnya juga perlu diberikan ruang hukum yang efektif untuk menggugat pelaku korupsi, baik melalui class action maupun citizen lawsuit, guna memperkuat aspek keadilan bagi korban.

Transparansi dalam kualitas BBM harus menjadi kewajiban, sehingga masyarakat memiliki akses terhadap informasi terkait bahan bakar yang mereka gunakan.

Setiap kerugian akibat korupsi BBM harus dikembalikan kepada rakyat, bukan hanya menjadi pemasukan negara yang tidak berdampak langsung pada pemulihan masyarakat.

Nailul Huda, Direktur Ekonomi CELIOS, menambahkan hingga saat ini pemerintah hanya fokus kepada kerugian negara, namun tidak menghitung kerugian masyarakat sebagai konsumen Pertamax.

"Terdapat kerugian konsumen atau consumer loss yang ditimbulkan akibat adanya kasus Pertamax Oplosan. Kerugian ini ditimbulkan akibat masyarakat membayar lebih mahal barang dengan kualitas Ron 90, padahal membayar dengan harga kualitas Ron 92," katanya.

“Akibatnya terdapat kerugian konsumen secara langsung sebesar Rp 47 miliar per hari atau Rp 17,4 triliun selama satu tahun praktik pengoplosan. Dampaknya menghilangkan Produk Domestik Bruto sebesar Rp 13,4 triliun karena dana masyarakat yang seharusnya bisa dibelanjakan untuk keperluan lainnya, justru digunakan untuk menambah selisih harga Pertamax oplosan," jelasnya. 

Baca Juga: Kasus Korupsi Minyak Pertamina, Kejagung Ungkap Lokasi Pengoplosan Pertamax

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×