kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.884.000   -21.000   -1,10%
  • USD/IDR 16.620   -10,00   -0,06%
  • IDX 6.833   5,05   0,07%
  • KOMPAS100 987   -1,19   -0,12%
  • LQ45 765   1,61   0,21%
  • ISSI 218   -0,33   -0,15%
  • IDX30 397   1,17   0,30%
  • IDXHIDIV20 467   0,48   0,10%
  • IDX80 112   0,13   0,12%
  • IDXV30 114   0,08   0,07%
  • IDXQ30 129   0,38   0,29%

Potret Desa Kawasi dan Tantangannya


Selasa, 13 Mei 2025 / 10:00 WIB
Potret Desa Kawasi dan Tantangannya
ILUSTRASI. Kontan - Harita Nickel Kilas Online. Permukiman Baru Desa Kawasi yang telah dibangun oleh pemerintah daerah setempat dengan pihak perusahaan. Telah dilengkapi fasilitas drainase, listrik, air bersih, sekolah, tempat ibadah, hingga permukiman penduduk.


Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal

KONTAN.CO.ID - oleh Prof. Dr. Ir. Eymal Bashar Demmallino, M.Si Ketua Program Studi S3 Ilmu Lingkungan Universitas Hasanuddin & Konsultan Amdal.

Desa Kawasi pada tahun 2007, saat saya pertama kali mengunjungi desa ini sebagai konsultan Amdal, belum tersentuh aktivitas pertambangan. Kehadiran kami waktu itu adalah bagian dari tahap awal perencanaan pertambangan nikel oleh perusahaan yang saat itu akan menjadi cikal bakal tumbuhnya Harita Nickel. Kawasi saat itu adalah desa pesisir yang hidup dalam keterbatasan akut, baik dari aspek aksesibilitas, infrastruktur dasar, maupun layanan publik. Desa yang berada di Pulau Obi termasuk bagian Kecamatan Obi Provinsi Maluku pada masa itu.

Kondisi Kawasi di masa itu mencerminkan tantangan multidimensi. Akses menuju desa sangat sulit, hanya dapat ditempuh melalui perjalanan laut panjang yang tidak selalu bisa diprediksi karena kondisi cuaca. Komunikasi hampir tidak tersedia, menjadikan pelayanan kesehatan dan pendidikan sangat terbatas. Sarana air bersih tidak memadai, dan intensitas banjir cukup tinggi akibat rusaknya tutupan hutan, baik karena pembukaan lahan maupun kebakaran. Kesehatan masyarakat pun terganggu oleh berbagai penyakit menular yang sulit ditangani karena tidak adanya fasilitas kesehatan yang layak. Dalam konteks ekonomi, masyarakat hidup dari pertanian tradisional dan aktivitas memancing untuk kebutuhan sehari-hari. Kawasi pada waktu itu bukanlah desa nelayan dalam arti profesi dan struktur ekonomi, melainkan komunitas yang memanfaatkan laut secara subsisten.

Salah satu UMKM binaan perusahaan kepada masyarakat di area Desa Kawasi. UMKM binaan ini menjadi salah satu tonggak perputaran ekonomi di area operasional perusahaan Harita Nickel.

Dua dekade kemudian, kembali saya hadir dan melihat wajah Kawasi telah berubah secara signifikan. Relokasi permukiman yang didorong oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan melalui skema Peraturan Daerah, menghasilkan kawasan Kawasi Baru yang lebih tertata dan layak huni. Dalam proses ini, Harita Nickel mengambil bagian penting dengan membangun infrastruktur dasar, termasuk rumah-rumah penduduk, jalan lingkungan, jaringan air bersih, dan fasilitas umum. Kawasi kini memiliki akses transportasi yang lebih baik, penyediaan air bersih, listrik, tempat ibadah, sekolah, serta fasilitas kesehatan tingkat pertama berupa Polindes.

Transformasi ekonomi pun turut terjadi. Selain banyak warga yang menjadi tenaga kerja di sektor tambang dan smelter, penduduk juga mengembangkan sektor informal seperti usaha kuliner, toko pakaian, rumah sewa, hingga rental kendaraan. Pendatang dari luar desa turut memperkaya struktur sosial-ekonomi Kawasi, salah satunya dengan mengembangkan aktivitas perikanan tangkap yang sebelumnya bukan budaya utama masyarakat asli. Perubahan ini menjadikan Kawasi perlahan tumbuh sebagai desa pesisir dengan orientasi ekonomi baru.

Kunjungan akademisi Univesitas Hasanuddin yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Eymal Bashar Demmallino ke Pulau Obi (baris pertama di bawah, kedua dari kiri), di area operasional Harita Nickel, pada akhir tahun 2024.

Namun, di tengah capaian tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang kini dihadapi, terutama oleh pemerintah daerah. Pertama adalah tantangan penataan permukiman dan integrasi sosial pascarelokasi. Walaupun relokasi merupakan kebijakan Pemerintah Daerah, pelaksanaannya menyisakan sejumlah persoalan, termasuk warga yang belum pindah karena alasan sosial ekonomi. Mereka berharap skema relokasi tidak hanya memindahkan tempat tinggal, tetapi juga menyediakan akses pada penghidupan yang setara atau lebih baik.

Kedua, pertumbuhan penduduk sebagai dampak dari migrasi tenaga kerja menimbulkan tekanan baru terhadap fasilitas publik. Ketidakseimbangan rasio jenis kelamin yang dominan laki-laki memunculkan fenomena sektor informal tersembunyi, baik dalam bentuk pekerjaan perempuan tidak resmi maupun kepadatan penduduk yang berisiko menimbulkan konflik horizontal. Kehadiran UMKM, lembaga pendidikan informal, serta layanan sosial lainnya belum sepenuhnya mampu menjawab lonjakan kebutuhan ini. Pemerintah perlu segera merumuskan strategi tata kelola kawasan yang terpadu, termasuk kemungkinan membangun hunian vertikal seperti rumah susun dan memperluas cakupan layanan sosial.

Perbincangan Prof. Dr. Ir. Eymal Bashar Demmallino dengan warga di Permukiman Baru Desa Kawasi pada saat kunjungan di tahun 2024.

Ketiga adalah isu kesehatan masyarakat. Meskipun Harita telah memberikan dukungan dalam pembangunan dan pengadaan fasilitas Polindes, tantangan ke depan berada di tangan Pemerintah Daerah dan Provinsi. Penguatan layanan kesehatan yang berkelanjutan—termasuk penyediaan tenaga medis, obat-obatan, dan sistem rujukan—merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara layanan dasar. Jika ke depan dibutuhkan fasilitas yang lebih tinggi seperti rumah sakit atau klinik swasta, maka hal ini sepatutnya didorong sebagai bagian dari kemitraan multi-pihak yang melibatkan swasta dan pemda, bukan ditumpukan pada perusahaan tambang yang memiliki batasan kewenangan dan fokus bisnis.

Isu keempat adalah konsistensi pemantauan dan pengelolaan dampak lingkungan. Meski berbagai infrastruktur pengendali dampak telah dibangun oleh perusahaan—seperti settling pond, sistem penyemprotan debu, dan dust collector—persepsi masyarakat terhadap risiko kualitas udara dan air tetap menjadi perhatian. Oleh karena itu, diperlukan transparansi data lingkungan dan penggunaan teknologi pemantauan seperti Continuous Emission Monitoring System (CEMS) yang dapat diakses secara real-time. Inisiatif ini sebaiknya dikolaborasikan dengan lembaga pemerintah agar kredibilitas pengawasan semakin terjaga.

Kelima, penumbuhan ekonomi masyarakat pascatambang. Meski sektor informal mulai tumbuh, pembinaan usaha kecil dan menengah, pelatihan keterampilan, serta kemitraan produksi dengan perusahaan tetap perlu diperkuat. Namun, keberhasilan transformasi ekonomi tak cukup disandarkan pada perusahaan saja. Pemerintah harus hadir sebagai fasilitator dan penjamin keberlanjutan, baik dari sisi regulasi, pembiayaan, maupun akses pasar.

Kawasi hari ini adalah gambaran perubahan nyata yang dapat terjadi jika ada kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah dalam kerangka pembangunan wilayah terpencil. Namun, perubahan fisik dan ekonomi harus diikuti oleh kesiapan tata kelola sosial, lingkungan, dan kelembagaan. Transformasi seperti yang terjadi di Kawasi tidak dapat berjalan hanya dengan satu aktor. Perusahaan dapat menjadi pemicu, namun keberlanjutan dan keadilan sosial hanya dapat terjamin jika pemerintah hadir sebagai pengarah dan penguat sistem.

Pengalaman Kawasi memberikan pelajaran bahwa pembangunan berbasis industri memerlukan pendekatan lintas sektor dan sensitif terhadap dinamika lokal. Jika semua pihak mampu memainkan peran secara proporsional, Kawasi bukan hanya akan menjadi contoh sukses pembangunan lokal, tetapi juga menjadi preseden penting bagaimana industri, masyarakat, dan pemerintah dapat membentuk ekosistem pembangunan yang tangguh dan berkelanjutan.

Selanjutnya: Inspirasi Desain Kamar Mandi Modern dan Fungsional untuk Rumah Anda di 2025

Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 14-15 Mei, Provinsi Ini Status Siaga Hujan Sangat Lebat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×