Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. President Amerika Serikat (AS) Donald Trump hendak melakukan investigasi terkait tarif impor furnitur di negaranya. Rencana tersebut menjadi risiko baru bagi industri furnitur Indonesia, sebagaimana AS masih menjadi pasar ekspor utama.
Pada unggahan media sosialnya, Jumat (22/8/2025) lalu, Trump menyebut investigasi tarif impor ini bakal rampung dalam 50 hari. Hingga kini, belum ada rincian terkait investigasi atau rencana tarif yang dimaksudkan.
Meski begitu, pengusaha furnitur Indonesia sudah bersiap.
Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) mencatat AS masih mendominasi pasar ekspor furnitur dan kerajinan Indonesia dengan porsi 53%-60% dari total ekspor ke dunia. Pada 2024 saja, nilainya mencapai US$ 2,43 miliar, setara 54% dari total ekspor furnitur dan kerajinan Indonesia.
Baca Juga: Trump Umumkan Investigasi Tarif Impor Furnitur, Produk China dan Vietnam Terancam
Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur menyebut, selain AS, ekspor ke pasar lainnya cenderung kecil. Di antaranya Jepang sebesar 6,4%, Belanda 4,3%, Prancis 3,3%, Australia 3,2%, Belgia 3,1%, dan Jerman 3%.
Pun dari sisi AS, impor furnitur sebenarnya masih didominasi pemasok Asia. “Impor furnitur mereka pada 2024 sebanyak US$ 57,6 miliar itu sekitar 50% di antaranya berasal dari Vietnam dan China. Artinya pasar AS masih bergantung banyak pada suplai Asia,” kata Sobur kepada Kontan, Minggu (24/5/2025).
Pun, rencana investigasi tarif yang saat ini dicanangkan Trump tentu menjadi risiko tersendiri bagi industri furnitur domestik. Ia memperkirakan, harga jual dan margin pengusaha bisa tergerus jika tarif baru diberlakukan.
Sobur bilang pembeli dari AS bisa-bisa menunda ataupun merelokasi pesanan. Nah, efeknya bakal merambat ke utilisasi pabrik, arus kas, hingga tenaga kerja di sentra mebel domestik. Pun ketidakpastian tarif saat ini, dari segi cakupan dan besarannya, menjadi risiko tersendiri terhadap kontrak berjalan dan logistik.
Menghadapi itu, Sobur menyebut HIMKI sudah menyiapkan sejumlah langkah mitigasi. Di antaranya yakni koalisi lintas negara, misalnya dengan American Home Furnishings Alliance (AHFA), serta pengajuan pengecualian dalam advokasi bersama KBRI Washington dan Kementerian.
“Kami akan sampaikan bukti bahwa tarif justru mengerek harga furnitur rumah tangga AS. Indikasi kenaikan harga pun sudah terlihat di data resmi mereka,” ungkap Sobur.
HIMKI juga mulai melakukan manajemen kontrak dan logistik di level perusahaan, dengan menerapkan sejumlah skenario harga dan pembagian tarif dengan pembeli, menyesuaikan distribusi stok prioritas, serta mempercepat pengiriman pesanan yang sudah siap.
Tak hanya itu, HIMKI gencar mendorong pemenuhan standar produk di AS untuk memperkuat daya saing secara kualitas.
Baca Juga: Furnitur dan Dekorasi Rumah Raup Potensi Transaksi Rp 8,5 Miliar di Afrika Selatan
Untuk jangka menengah, HIMKI juga mempertimbangkan untuk memindahkan atau membuka fasilitas produksi di negara yang sudah memiliki perjanjian bebas dagang (FTA) dengan AS seperti Yordania. “Tentu dengan studi kelayakan, RoO ketat, dan tidak boleh ada transshipment,” tambahnya.
Di luar itu, HIMKI juga mempertimbangkan sejumlah pasar alternatif untuk mengurangi ketergantungan ekspor ke AS, di antaranya ke Eropa Barat yang kini sudah menyumbang kisaran 15%, Jepang, Australia, Timur Tengah, dan ASEAN yang dekat.
Secara keseluruhan Sobur bilang HIMKI menghormati proses kebijakan di AS. Ia mengharapkan dialog konstruktif untuk mencegah kerugian di kedua belah pihak.
“Tarif menyeluruh pada furnitur impor berpotensi menaikkan harga bagi konsumen AS dan mengganggu rantai pasok global. Penting untuk menjaga daya beli konsumen AS dan kelangsungan kerja jutaan pekerja di hulu-hilir furnitur,” pungkasnya.
Selanjutnya: Head to Head Fulham vs Manchester United: Setan Merah Jauh Lebih Baik
Menarik Dibaca: Daftar Menu untuk Diet Tanpa Nasi agar Berat Badan Turun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News