kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.487.000   72.000   2,98%
  • USD/IDR 16.610   15,00   0,09%
  • IDX 8.238   149,11   1,84%
  • KOMPAS100 1.145   25,73   2,30%
  • LQ45 820   23,58   2,96%
  • ISSI 290   4,46   1,56%
  • IDX30 429   13,21   3,18%
  • IDXHIDIV20 487   16,89   3,59%
  • IDX80 127   2,85   2,30%
  • IDXV30 135   1,26   0,95%
  • IDXQ30 136   4,84   3,69%

Potensi EBT RI Capai 3.600 GW, Pemanfaatannya Baru 1%


Minggu, 24 Agustus 2025 / 21:16 WIB
Potensi EBT RI Capai 3.600 GW, Pemanfaatannya Baru 1%
ILUSTRASI. Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) mencapai 3.600 gigawatt (GW) dari tenaga surya hingga bioenergi. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/agr


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) mencapai 3.600 gigawatt (GW) dari tenaga surya hingga bioenergi. Namun, pemanfaatannya masih minim.

Penasihat Khusus Presiden Bidang Energi, Purnomo Yusgiantoro mengatakan, hingga akhir 2024, kapasitas terpasang EBT saat ini baru sekitar 14,4 GW atau kurang dari 1% dari total potensi yang ada. Artinya, masih ada peluang besar untuk mengembangkan potensi energi baru dan terbarukan di Indonesia.

Sementara itu, Direktur Pelaksana Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai transisi energi di Indonesia berjalan setengah hati. Menurutnya, agenda ini seringkali dipersepsikan hanya sebagai tantangan bagi PLN, padahal banyak negara menjadikannya sebagai strategi transformasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Baca Juga: Target Bauran EBT 23% Tahun Ini Sulit Tercapai, Swasta Masih Ogah Masuk

“Target besar Presiden Prabowo menunjukkan perhatian lebih. Namun, investasi EBT dan ketenagalistrikan stagnan bahkan menurun dalam tujuh tahun terakhir,” jelas Putra, Minggu (24/8).

Putra menjelaskan, kepastian rencana pengadaan EBT dalam jangka pendek serta kebijakan pembatasan harga batubara dan gas membuat pengembangan EBT kehilangan daya tarik bagi investor.

Investor, kata Putra, membutuhkan tenggat waktu yang jelas dan proses yang transparan untuk masuk ke proyek EBT. Ia mengusulkan agar sebagian keuntungan dari sektor batubara dan gas dialokasikan dalam bentuk dana transisi untuk mendukung subsidi listrik sekaligus mempercepat penetrasi EBT.

“Kalau gas yang lebih mahal dari batubara saja bisa ekspansif di RUPTL, publik wajar bertanya mengapa EBT justru lambat?” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai hambatan utama transisi energi ada pada regulasi dan pendanaan.

Baca Juga: Target EBT 23% 2025 Terancam Meleset, Realisasi Baru Capai 14,5%

Kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) batubara membuat harga EBT kurang kompetitif. Di sisi lain, alokasi subsidi dan kompensasi dari APBN untuk ketenagalistrikan berbasis EBT relatif kecil.

Bhima menambahkan, dana desa sebenarnya dapat dipakai untuk mendorong proyek EBT berbasis komunitas, tetapi keterbatasan pagu anggaran serta laporan teknis membuat implementasinya seret.

“Kurang dari 4% dana desa yang digunakan untuk EBT,” ungkapnya.

Dari sisi pendanaan, kerja sama internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) berpotensi mendukung transisi, namun realisasinya lambat karena ketidakpastian kebijakan menjelang peralihan pemerintahan. Sementara bank domestik masih agresif menyalurkan kredit ke energi batubara sehingga pembiayaan EBT dianggap sektor tersier.

Selanjutnya: Tuai Pro – Kontra, Bagaimana Penerapan Aset Kripto Jadi Agunan di Luar Negeri?

Menarik Dibaca: Daftar Menu untuk Diet Tanpa Nasi agar Berat Badan Turun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×